Independensi KPK

Independensi KPK

Oleh: Imawan Sugiharto

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat dikatakan sebagai anak kandung gerakan reformasi mahasiswa tahun 1997, di samping Amandemen UUD 1945. 

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) merupakan isue awal yang digulirkan mahasiswa berkaitan dengan upayanya untuk menumbangkan rezim orde baru. Turunnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 dan kemudian dilanjutkan dengan Agenda Sidang Istimewa MPR Tahun 1998, telah melahirkan salah satu ketetapan untuk mengakomodir larangan  bagi penyelenggara negara melakukan KKN, yaitu Ketetapan Nomor : XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 

Ketetapan MPR inilah diharapkan akan menjadi komitmen bersama  bagi penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif agar tidak lagi melakukan kegiatan yang mengarah pada korupsi, kolusi dan nepotisme. 

Mendasari UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999, dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002. 

Salah satu pertimbangan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meskipun sudah ada Kepolisian dan Kejaksaan yang juga berwenang dalam Penyidikan Korupsi, adalah bahwa ke dua lembaga pemerintah tersebut dipandang belum berfungsi efektif dan efisien dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. 

KPK bersifat independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Terbukti selama kiprahnya sejak dibentuk pada tahun 2002, KPK telah menunjukkan kualitas dan sekaligus tajinya yang tentunya berbeda dengan 2 (dua) lembaga yang sudah ada, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. 

Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang merupakan kegiatan sunyi dan sangat tertutup, telah berhasil menangkap basah baik penyelenggara negara maupun pihak swasta yang diindikaskan telah melakukan tindak pidana korupsi. 

Hingga periode awal tahun 2019, KPK merupakan lembaga antirasuah yang cukup disegani baik dalam negeri maupun pengakuan dunia internasional. Akan tetapi sejak berlakunya Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU No 30 Tahun 2002, telah mengubah wajah KPK semuanya. 

Salah satunya adalah Pasal 24 ayat (2) yang mengatur bahwa Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan anggota korps pegawai aparatur sipil negara, bukan lagi sebagai pegawai KPK. Artinya, sekarang pegawai dan termasuk di dalamya adalah penyidik KPK adalah merupakan aparatur sipil negara. 

Bisa dibayangkan bagaimanakah para penyidik KPK yang nota bene adalah ASN termasuk ketua Komisionernya yang masih aktif sebagai seorang anggota Polri, akan bertindak independen akan sulit diterima oleh akal sehat.

Adanya kenyataan seperti itu jelas akan mengurangi independensi KPK dalam menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan penyelenggara negara, terutama di tingkat eksekutif. 

Pelemahan KPK terus berlanjut hingga sekarang ini, tidak hanya dengan status pegawainya akan tetapi juga dengan ditolaknya Permohonan Judicial Review oleh Mahkamah Konsitusi tentang Undang-Undang No 19 Tahun 2019. 

Sumber: