Keluarga Korban Sriwijaya Air SJ-182 Harus Didampingi Penagacara Andal supaya Mendapatkan Hak-haknya
Keluarga korban tragedi Sriwijaya Air SJ-182 harus didampingi pengacara andal dan berpengalaman, agar mereka mendapatkan hak-haknya. Utamanya dari para pihak yang bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut.
Hal tersebut diungkapkan Dekan dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara Ahmad Sudiro. Pakar penerbangan ini menyebut kompensasi adalah bentuk tanggung jawab perusahaan penerbangan terhadap ahli waris korban sesuai dengan Pasal 141 Undang Undang Nomor 1/2009 tentang Penerbangan, dan Pasal 2 jo Pasal 3 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77/2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, serta ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
"Namun, kompensasi ini tidak mengurangi dan tidak melepaskan pihak- pihak lain yang diduga turut bertanggung jawab juga untuk tetap dituntut ganti kerugian atas terjadinya kecelakaan pesawat Sriwijaya SJ-182 jenis Boeing 737- 500 tersebut," ungkapnya dalam keterangannya, Minggu (24/1).
Menurutnya tragedi Lion Air JT-160 jenis Boeing 737-8 MAX rute Jakarta-Pangkal Pinang yang jatuh di perairan Laut Karawang, Jawa Barat usai lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta pada 29 Oktober 2018, bisa diambil pembelajaran. Dalam tragedi ini 189 orang penumpang dan awak pesawat meninggal dunia.
Menurutnya ada empat persoalan yang harus dihadapi keluarga atau ahli waris penumpang pesawat Lion Air JT 610 ketika itu. Pertama, keluarga tanpa pendampingan ahli hukum atau pengacara secara sepihak diarahkan oleh pihak maskapai untuk memberikan pelepasan dan pembebasan dari sanksi perdata maupun pidana kepada pihak maskapai dan pabrikan pesawat untuk menerima santunan sebesar Rp1.250.000.000, ditambah Rp50.000.000 ekstra santunan dari maskapai dan pabrikan pesawat terbang.
Kedua, para keluarga yang oleh karena terdesak kebutuhan maka menerima dana santunan Rp1.300.000.000.
Ketiga, dengan menerima dan menandatangani R&D (Release and Discharge) atau terjemahan bebasnya adalah "Pelepasan dan Pembebasan", pihak keluarga dan ahli waris tidak bisa menuntut baik pidana maupun perdata kepada maskapai penerbangan dan pabrikan pesawat beserta sekitar 1.000 supplier dan subkontraktor dari pabrikan pesawat di Amerika Serikat.
Keempat, banyak keluarga yang terlanjur menandatangani R&D mengalami kesedihan kedua kalinya karena tidak bisa mendapatkan santunan dari pihak pabrikan pesawat di Amerika Serikat menurut Undang-Undang Amerika Serikat.
"Fakta hukum para keluarga korban yang tidak menandatangani R&D dapat dengan mudah mengajukan tuntutan kepada perusahaan pabrikan pesawat di Amerika Serikat. Dalam pengajuan klaim di AS berdasarkan perundang-undangan hukum yang berlaku di sana, keluarga bisa mendapatkan santunan dalam jumlah yang sangat layak. Tentu harus diwakili oleh pengacara yang berasal dari AS," jelasnya.
Namun, lanjut dia, keluarga korban yang terlanjur menandatangani R&D pun bisa menuntut ke pabrikan pesawat di AS, tetapi mendapatkan santunan yang besarnya hanya sekitar 30 persen dibanding mereka yang menolak menandatangani R&D.
Hal itu, perlu menjadi pertimbangan bagi para keluarga korban secara logis di tengah kedukaan yang sangat dalam yang dialami saat ini.
"Karena itu, memilih pengacara yang memiliki pengalaman dalam menangani kasus penerbangan seperti ini akan sangat membantu perlindungan hak perdata bagi keluarga dan ahli waris korban secara aman baik untuk kepentingan hukum di Indonesia maupun di AS," katanya. (fin/zul)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: