Pengkhianat Tebal
Graham termasuk yang tidak menerima kekalahan Trump. Ia ikut berjuang membalikkan hasil Pilpres. Sampai tiga hari lalu pun masih begitu. Bahkan ketika terjadi skandal telepon minggu lalu, Graham ada di situ.
Waktu itu Trump menelepon wakil gubernur Georgia, yang juga menjabat ketua KPU di sana. Trump menekan wagub agar membalik hasil penghitungan suara. Bahkan Trump menyebut ia hanya perlu dicarikan suara tambahan 11.800. Wagub harus bisa mengusahakan.
Sang Wagub juga dari Partai Republik. Tapi tidak mau ditekan. Justru pembicaraan telepon itu bocor. Rekamannya disiarkan secara lengkap oleh Harian The Washington Post.
Kalau skandal telepon ini jadi perkara Graham dipastikan terlibat.
Pendukung Trump baru mulai marah padanya empat hari lalu. Yakni ketika proses penyertifikatan kemenangan Joe Biden disidangkan di Kongres. Saat itu Graham bikin pernyataan: Kita harus bisa menerima Biden adalah pemenangnya, Trump kalah.
Langsung Graham mendapat gelar baru: pengkhianat. Tidak hanya ia. Daftar pengkhianat itu panjang sekali. Termasuk Wakil Presiden Mike Pence.
Kemarahan pendukung Trump tidak lagi fokus ke Demokrat –yang mereka anggap akan membawa Amerika menjadi negara komunis.
Fokus baru kemarahan itu justru pindah ke ''para pengkhianat'' di dalam partai. Yakni mereka yang tidak mau membatalkan kemenangan Biden di forum tertinggi konstitusi. Yang sidangnya, sebenarnya, dipimpin oleh Pence sendiri.
Orang awam mengira ketua itu bisa punya otoritas apa saja. Mereka sangat kecewa pada Pence yang dianggap lemah.
Maka ketika ribuan orang –umumnya memperkirakan 25.000 orang– selesai mendengar pidato Trump di sebuah lapangan terbuka –antara Gedung Putih dan gedung Capitol– semangat mereka menyala-nyala. Apalagi Trump menyerukan agar mereka semua bergeser ke Gedung Capitol. Lalu Trump juga memuji mereka sebagai pendukung yang ia sayangi dan ia banggakan.
Saat itu mereka sudah mulai mendengar desas-desus bahwa Pence tidak mau membantu usaha Trump. Mereka pun marah, frustrasi, dan terancam sebagai patriot yang gagal.
Begitulah. Seperti juga Gedung MPR Indonesia yang diduduki masa di tahun 1998, Gedung Capitol itu mereka duduki. Scaffolding yang untuk persiapan pelantikan presiden mereka pakai memanjat gedung. Jendela kaca dipecahkan. Pintu didobrak. Mereka banyak yang selfi: duduk-duduk di ruang ketua DPR dengan kaki di atas meja. Dan segala macam adegan.
Tapi mereka masih kalah patriotik dengan yang di Jakarta. Mungkin militernya lebih solid. Satuan SWAT yang begitu elite segera mengambil alih Gedung Capitol yang begitu sakral.
Di Jakarta mereka sempat bermalam di dalam gedung MPR. Mereka baru bubar ketika Presiden Soeharto meletakkan jabatan.
Di Amerika pun mulai dimunculkan isu: apakah aparat keamanan yang menjaga Capitol sengaja melonggarkan pengamanan. Mengapa aparat di Capitol menolak bantuan. Sejak dua hari sebelumnya. Mengapa pula tidak segera ada tambahan personel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: