Omnibus UU Ciptaker Cacat Formil, Pengamat Hukum Tata Negara: Pemerintah Telah Mengkerdilkan Proses Legislasi
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyatakan Undang-undang (UU) Nomor 11 tahun 2020 atau UU Cipta Kerja yang telah disahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dipenuhi cacat formil. Karena masih ditemukan adanya kesalahan penulisan.
Dia pun memandang pemerintah terburu-buru untuk segera memberlakukan undang-undang sapu jagat tersebut. "Sudah cacat secara formil, harusnya sudah tidak bisa diberlakukan itu," ujar Asfinawati kepada wartawan, Selasa (3/11).
Asfinawati menilai, Jokowi telah menunjukkan keberpihakannya terhadap oligarki bukannya rakyat. Kini, menurutnya, Jokowi sudah tak malu lagi untuk berpihak kepada pemodal.
Meski begitu, Asfinawati menyatakan enggan mengajukan judicial review (JR) terhadap UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). Karena, ia menilai, aturan tersebut telah cacat formil sejak awal.
Ia justru mendorong fraksi di DPR yang menolak UU Cipta Kerja dengan mengajukan RUU inisiatif. Tindakan tersebut juga dapat menunjukkan kepada rakyat bahwa fraksi-fraksi tersebut serius melakukan penolakan.
"Fraksi yang nggak setuju bisa mengajukan RUU inisiatif DPR untuk membatalkan UU Omnibus Law Kipta Kerja. Makanya haru ada UU baru untuk batalin, agar rakyat bisa lihat juga apakah penolakan itu serius atau tidak," tegas Asfina.
Adapun ketentuan yang menjadi sorotan adalah Pasal 6 UU Cipta Kerja. Pasal tersebut merujuk pada Pasal 5 ayat (1). Akan tetapi jika ditilik tidak ditemukan adanya pasal itu. Kesalahan itu juga terlihat dalam Pasal 175 ayat (5). Pasal tersebut tertulis merujuk ayat (3), namun seharusnya merujuk ayat (4).
Pengamat Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyayangkan sikap pemerintah yang menyatakan itu merupakan kesalahan administrasi belaka. Ia menilai, pernyataan yang dilontarkan pemerintah telah mengkerdilkan proses legislasi.
Ia pun menyebutkan, kesalahan di Pasal 6 dan Pasal 175 ayat (5) tidak dapat sembarangan diperbaiki. "Proses legislasi itu bukan sekadar urusan administrasi, tetapi perwujudan konkret "demokrasi perwakilan". Ada moralitas demokrasi yang tercederai di sini," kata Bivitri.
Kesalahan yang terjadi, menurut Bivitri, merupakan suatu hal yang fatal. Sebab, menurutnya, penomoran suatu undang-undang bukan hanya perkara administrasi, namun memiliki makna pengumuman ke publik dengan menempatkan suatu undang-undang ke lembaran negara.
"Makanya dibilangnya "pengundangan." Ini Penting sekali, sehingga dikenal "teori fiksi hukum", di mana bila sudah diumumkan, tidak ada orang yg bolah mendaku dirinya tidak mengetahui bahwa UU itu ada sehingga bisa menghindar dari kewajiban menerapkan UU itu," pungkas dia. (riz/gw/zul/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: