UU Cipta Kerja: Surga atau Fatamorgana?

UU Cipta Kerja: Surga atau Fatamorgana?

Dari hasil survei itu ternyata stabilitas politik dan keamanan masih menjadi pertimbangan yang paling penting, sementara kurangnya transparansi dan kepastian dalam praktik pemerintahan masih menjadi momok yang paling menakutkan bagi sebagian besar investor dunia ketika akan memutuskan berinvestasi di sebuah negara.

Dua hal itu jauh lebih penting daripada yang lain, termasuk  faktor-faktor lain yang yang sudah dibenahi oleh pemerintahan Jokowi selama ini, misalnya pembangunan infrastruktur dan regulasi insentif pajak.

Ternyata tenaga kerja terampil masih lebih penting ketimbang tenaga kerja murah dan stabilitas nilai tukar mata uang masih lebih dipertimbangkan daripada akses terhadap tanah dan properti.

Dalam laporan yang lain dari World Economic Forum, Indonesia pada tahun 2019 menduduki peringkat ke-50 dari 141 negara yang dievaluasi dalam daftar The Global Competitiveness Index. Sudah berada di atas Brunei (ke-56), Filipina (ke-64), Vietnam (ke-67) dan Kamboja (ke-106), walaupun masih tertinggal dari Thailand (ke-40) dan Malaysia (ke-27) apalagi dari Singapura yang menjadi juara pertama mengalahkan Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara maju lainnya.

Stabilitas politik dan keamanan serta transparansi pemerintahan yang bersih menjadi keunggulan utama yang menempatkan Singapura jauh meninggalkan koleganya di Asia Tenggara.

Pemerintahan Trump yang cenderung flamboyan dan sering kontroversial menjadi handicap yang menjungkalkan Amerika dari posisi pertama selama ini walaupun dari sisi infrastruktur, ketersediaan listrik, jaringan internet dan inovasi teknologi masih jauh lebih unggul daripada Singapura.

Dari dua laporan ini kita bisa belajar banyak, bahwa setumpuk revisi regulasi dan sejumlah pembangunan infrastruktur bukanlah segala-galanya, ada yang lebih penting dari sekedar hal-hal yang bersifat fisik. 

Stabilitas politik dan keamanan dalam negeri yang sering mengalami turbulensi berupa kegelisahan sosial (social unrest) dan pembangkangan sosial (social disobedience) akibat kontestasi dan kontroversi politik selama beberapa tahun terakhir tampaknya justru menjadi handicap terbesar yang membuat investor dunia menjadi enggan berinvestasi di Indonesia.

Indeks perilaku koruptif dan kolutif yang masih tinggi serta transparansi praktik pemerintahan yang masih jauh dari kategori bersih sepertinya juga menjadi momok yang masih melekat ketika para investor dunia menyebut nama Indonesia.

Dalam perspektif itu saya khawatir maksud baik dari pemerintahan Jokowi melakukan kerja ambisius melalui UU Cipta Kerja justru menjauhkan kita dari tujuan yang semestinya. UU Cipta Kerja telah mengoreksi 1.203 pasal dalam 79 UU lainnya. 

Karenanya tentu memerlukan perubahan dan penyesuaian yang tidak mudah pada sekian banyak Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, hingga Peraturan Daerah.

Sebuah kerja raksasa yang ingin dilakukan justru pada saat pandemi COVID-19 sedang berlangsung secara global ibarat seperti memaksa menginjak gas habis-habisan ketika mobil sedang berada di tengah lautan lumpur yang dalam.

Saya tentu sama sekali tidak berkompeten untuk menyatakan apakah materi UU Cipta Kerja sudah baik atau buruk, benar atau salah. Tetapi melihat dampaknya secara sosial politik sejak masa kandungan sampai  dengan waktu kelahirannya, saya khawatir pemerintah tampak terlihat terlalu tergesa-gesa mengerjakan sesuatu yang sesungguhnya masih dapat ditunda. 

Setidaknya sampai kita dapat mengakhiri pandemi Corona yang telah menjangkiti 325 ribu orang dan merenggut nyawa hampir 12 ribu jiwa saudara-saudara sebangsa dan setanah air kita, Indonesia. (**)

*) Pengurus Pusat Jaringan Media Siber Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: