Jaksa Akan Lebih Dominan dari Polisi, RUU Kejaksaan Berpotensi Kembalikan Hukum ke Zaman Kolonial

Jaksa Akan Lebih Dominan dari Polisi, RUU Kejaksaan Berpotensi Kembalikan Hukum ke Zaman Kolonial

”Jaksa tidak lagi di belakang meja, tapi harus di depan meja dan dia harus mengerti jiwa suatu perkara. Menjiwai suatu perkara, ya harus melihat perkara pada saat kejadian, bukan saat di berkas,” tandasnya.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga menyesalkan ada pasal yang memberi kewenangan berlebihan terhadap kajaksaan. "Ya serakah, terkesan jaksa selain menjadi penuntut, penyidik juga, advokat juga. Karena itu, harus dibatasi,” katanya.

Dia menilai, ada kesan Kejaksaan serakah terhadap wewenang dan tugas dalam penegakan hukum dalam revisi UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan.

Menurutnya, kewenangan jaksa sebagai penyidik harus dibatasi dan diletakkan pada proporsinya, yakni hanya menangani perkara tindak pidana tertentu saja. Selain polisi, katanya, selama ini penyidikan juga bisa dilakukan oleh PPNS atau penyidik PNS Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Jadi, jika ingin diberikan fungsi penyidikan, itu hanya pada tindak pidana tertentu saja, seperti tipikor (tindak pidana korupsi) dan TPPU (tindak pidana pencucian uang). Jadi harus jelas dan pasti dalam perkara apa, bukan dalam arti penyidik secara umum," ujarnya.

Selain itu, ia mengatakan wewenang jaksa sebagai ahli hukum lain (tata usaha negara perdata) juga harus bersifat konsultatif. Sebab fungsi operasionalnya merupakan bagian dari wilayah kerja profesi advokat.

"Jangan mengambil peran profesi advokat," jelasnya.

Fickar juga mengatakan secara universal di belahan dunia manapun, jaksa hanya berfungsi sebagai penuntut umum tunggal dan pelaksana eksekusi hukumannya.

Senada diungkapkan Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) Barita Simanjuntak. Menurutnya, wewenang jaksa yaitu menuntut dan mengeksekusi putusan pengadilan yang inkrah. Sedangkan kewenangan penyelidik dan penyidik ada pada kepolisian atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Jadi sebenarnya tidak meniadakan fungsi penyidik, tetap penyidikan pidana umum ada di kepolisian. Ini berkaitan dengan KUHAP yang sementara sedang jalan RUU (KUHP-KUHAP)," ujarnya.

Menurut Barita, untuk perkara tindak pidana khusus, jaksa memang memiliki kewenangan sebagai penyidik, karena penyidik pada pidana khusus bisa dari unsur kepolisian, kejaksaan dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Nah, karena jaksa sebagai penyidik pidana khusus dalam menyidik dan juga penuntut, maka bisa lebih cepat. Jadi ini yang harus ditertibkan administrasinya, supaya ada batas waktu yang jelas sehingga suatu perkara itu jelas kapan masuk dan kapan berakhir," ujarnya.

"Itu mengatur limitatif bagaimana pelaksanaan kewenangan penyidikan yang ada di pidana umum oleh polisi, bisa juga memberikan kelancaran tugas prapenuntutan sampai pada penuntutan oleh kejaksaan," ucapnya.

Di sisi lain, dia juga menilai perlunya sistem peradilan pidana dalam satu sinergitas yang saling mendukung agar penegakan hukum semakin kuat dan sistem check and balance juga berjalan.

"Mekanisme itu harus dibangun untuk mencegah terjadinya abuse of power. Maka, kepolisian perlu diperkuat, kejaksaan juga diperkuat, pengadilan diperkuat, sebab kekuatan yang sama itu bisa membangun check and balance system yang baik. Namun harus dicegah jangan sampai menjadi ego sektoral, ini yang harus ditata lebih rapi lagi dalam KUHAP mengingat lintas sektor," katanya. (gw/zul/fin)

Sumber: