Jelang Pilkada, Lembaga Penyiaran dan Media Mulai Diawasi

Jelang Pilkada, Lembaga Penyiaran dan Media Mulai Diawasi

Euforia Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 mulai terasa. Lembaga penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu mulai melakukan pemantauan aktivitas para kandidat. Salah satunya dengan membentuk gugus tugas pemantauan di media, baik cetak, online, maupun elektronik.

Kemarin (12/8), Bawaslu bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan Dewan Pers menandatangani Keputusan Bersama (Kepber) tentang Pengawasan dan Pemantauan Pemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye Pilkada 2020 Melalui Lembaga Penyiaran, Perusahaan Pers Cetak dan Siber.

Kepber itu menetapkan, salah satunya, pembentukan Gugus Tugas Pemantauan Pemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye Pilkada 2020 Melalui Lembaga Penyiaran, Perusahaan Pers Cetak dan Siber.

“Kerja sama dengan KPU, Dewan Pers, dan KPI adalah kerja sama yang baik untuk memastikan keterpenuhan hak dan keadilan dalam kampanye. Kami sepakat untuk membentuk gugus tugas yang nantinya akan mengawasi dan memantau konten pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye,” ujar Ketua Bawaslu RI Abhan di Jakarta, Rabu (12/8).

Dia mengatakan, kerja sama dengan para pemangku kepentingan pengawasan media massa dan lembaga penyiaran sangat dibutuhkan. Hal itu karena adanya kenormalan baru akibat pandemi COVID -19 yang mendorong peningkatan aktivitas politik melalui media cetak, elektronik, dan penyiaran.

“Peran serta dan partisipasi media dalam pengawasan dan pemantauan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye juga sangat membantu kerja-kerja pengawasan dan penegakan hukum pemilihan,” tambah Abhan.

Adapun di tingkat provinsi, gugus tugas dibentuk oleh Bawaslu dan KPU provinsi serta KPID setempat dengan tetap melibatkan Dewan Pers. Sedangkan di tingkat kabupaten/kota, gugus tugas merupakan kerja sama antara Bawaslu dan KPU kabupaten/kota setempat dan turut melibatkan Dewan Pers dan KPID setempat.

Terpisah, Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar mengungkapkan tantangan, hambatan, dan potensi pelanggaran Pilkada 2020. Kendala dan hambatan yang dapat dihimpun Bawaslu berdasarkan hasil laporan kerja jajaran pengawas di seluruh daerah.

Beberapa kendala dan hambatannya, lanjut Fritz, seperti tahapan pencocokan dan penilitian (coklit) yang terkendala lantaran ada petugas pemutakhuran data pemilih (PPDP) di Kabupaten Bandung Barat yang positif COVID-19. Kemudian, beberapa kabupaten/kota belum melaksanakan protokol kesehatan karena keterbatasan anggaran. Selain itu, beberapa kabupaten/kota juga terkendala jaringan internet.

“Anggaran untuk pilkada sudah disetujui tahun 2019 lalu. Karena ada COVID-19, maka memerlukan anggaran baru. Sampai sekarang belum terpenuhi 100 persen. Ada beberapa daerah yang belum melaksanakan protokol kesehatan. Karena masalahnya di daerah tersebut tidak ada petugas kesehatan, tidak ada rapid test, dan jaringan internet,” jelas Fritz.

Selanjutnya, jajaran pengawas tidak diberikan daftar pemilih model A-KWK. Fritz menilai hal ini membuat proses coklit mengalami banyak persoalan di lapangan. Karena Bawaslu melakukan pengawasan dengan data yang tidak sama dimiliki KPU. Selain itu, data pemilih kurang akurat contohnya model A-KWK.

“Ada masyarakat yang tidak mau dicoklit. Sehingga petugas PPDP tidak bisa menemukan data pemilih yang sebenarnya,” ungkap Koordinator Divisi Hukum, Humas, dan Pengawasan Internal Bawaslu itu.

Kendala lainnya, adalah potensi logistik kurang maksimal dan rasa tidak aman diantara para penyelenggara pemilu. “Karena kita melihat bahwa banyak protokol kesehatan yang harus dilakukan. Sehingga nanti dalam proses persiapan ada hal-hal yang bersifat teknis kepemiluannya itu tidak terpenuhi melalui potensi di logistik,” paparnya.

Sedangkan potensi pelanggaran dalam pilkada, Fritz menyebut antara lain penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh petahana yang sulit dibendung. Juga merebaknya politik uang lantaran banyak masyarakat di daerah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Sumber: