Putus Rantai Keterlibatan ASN, Lembaga Peradilan Pemilu Digagas

Putus Rantai Keterlibatan ASN, Lembaga Peradilan Pemilu Digagas

Lembaga Peradilan Pemilu dibutuhkan. Disodorkannya gagasan ini karena banyaknya masalah yang kerap terjadi dalam pelaksanaan Pemilu.

Fakta pelanggaran pidana dalam Pemilu, juga diperkuat dengan hukum sejalan dengan maraknya keterlibatan abdi negara yang memainkan peran politik praktis.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Arif Wibowo mengatakan, penting pembentukan Peradilan Pemilu sebuah penegasan garis fungsi dan tugas Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Karena DKPP merupakan suatu lembaga ajudifikasi Pemilu yang sifatnya hanya mengadili etik terkait Pemilu.

”Saya ingin mengatakan DKPP memang dibatasi menjadi semacam lembaga ajudifikasi. Hanya untuk peradilan etik saja, lebih dari peradilan etik tidak dimungkinkan. Karena dalam undang-undang sudah mengatur jika ada pelanggaran sifatnya administratif, disampaikan oleh pihak mana, bagaimana hukumnya, dan seterusnya. Tidak menyangkut pelanggaran pidana dan sebagainya,” paparnya, Senin (10/8).

Alasan lain, sambung dia, karena selama ini DKPP sifatnya hanya mengatur etik saja, sambungnya, maka kemungkinan diperlukan pembentukan lembaga peradilan Pemilu yang akan mengatur hukum politik Indonesia.

”Saya kira ke depan soal DKPP yang kemudian hari-hari ini isunya didorong, karena memang UU sudah menyediakan UU 10 Tahun 2016, agar ke depan jika memungkinkan, dan ini tentu bagian politik hukum kita ke depan adalah mengenai pembentukan Lembaga Peradilan Pemilu,” kata Arif.

Menurutnya, masih diperlukan pembahasan lebih lanjut terkait wacana ini. Ia juga mengimbau agar Indonesia mencontoh negara-negara yang telah menerapkan sistem lembaga peradilan Pemilu.

”Problem etik yang terjadi pada penyelenggara memang diadili DKPP, dimana unsur di dalamnya adalah pihak penyelenggara, dan lainnya tokoh masyarakat untuk menguji apakah penyelenggara itu bisa dibuktikan secara hukum, dan memang tidak diberikan ruang pada pelanggaran bukan etik, inilah saya kira penting kita bicara lebih lanjut tentang keberadaan DKPP,” paparnya.

Terpisah Anggota Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) bidang Promosi dan Advokasi Arie Budiman ingin ada regulasi hukum yang menindak Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) terbukti membiarkan ASN berpolitik praktis dalam Pilkada.

”Sudah saatnya barangkali dilakukan regulasi tentang bagaimana sanksi hukum juga, sanksi yang jelas ya, yang tegas begitu, kepada PPK. Supaya terjadi keseimbangan dan keadilan,” terang Arie dalam diskusi daring Menjaga Netralitas ASN.

Pasalnya, selama ini, seolah-olah hanya pegawai ASN yang berbuat ulah ketika ada kasus yang menyangkut netralitas dan politisasi ASN di Pilkada. Namun, PPK yang menjadi leading sector dalam pengawasan pegawai ASN seakan-akan tidak bersalah padahal bisa jadi PPK yang berbuat ulah duluan dengan membiarkan saja pegawai nya terlibat politik praktis.

Adapun delik pelanggaran netralitas ASN dalam plkada yang diatur dalam Undang-Undang dapat ditemukan dalam Pasal 71 UU No. 1/2015 yang berbunyi: ”Pejabat Negara, Pejabat Aparatur Sipil Negara, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dilarang Membuat Keputusan dan/atau Tindakan yang Menguntungkan atau Merugikan Salah Satu Calon selama masa Kampanye.

Demikian juga Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 53/2010 secara tegas melarang PNS untuk memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:

Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon kepala daerah menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye, membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye atau mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta Pemilu.

Sumber: