Anggap Janggal Program Menteri Nadiem Makarim, PGRI Mundur Ikuti Jejak NU dan Muhammadiyah

Anggap Janggal Program Menteri Nadiem Makarim, PGRI Mundur Ikuti Jejak NU dan Muhammadiyah

Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyatakan mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Dengan demikian, langkah itu menyusul Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang sebelumnya mengambil keputusan serupa,

Ketua Umum Pengurus Besar PGRI, Unifah Rosyidi mengatakan, bahwa keputusan ini berdasarkan pertimbangan yang matang. Yakni dengan menyerap aspirasi dari anggota dan pengurus dari daerah melalui rapat koordinasi bersama pengurus PGRI Provinsi seluruh Indonesia, perangkat kelengkapan organisasi, badan penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan PGRI.

Beberapa pertimbangan keputusan PGRI tersebut, bahwa alokasi anggaran untuk POP yang mencapai setengah triliun lebih rupiah itu, harusnya bermanfaat apabila untuk membantu siswa, guru atau honorer, penyediaan infrastruktur di daerah khususnya di daerah 3T demi menunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ) karena pandemi Covid-19.

"PGRI menilai anggaran negara sekitar Rp 500 miliar yang dialokasikan untuk POP, lebih baik digunakan untuk menangani permasalahan pendidikan yang terdampak Covid-19," kata Unifah di Jakarta, Jumat (24/7).

Selain itu, PGRI memandang pemerintah perlu berhati-hati dalam menggunakan anggaran POP. Mengingat waktu pelaksanaan yang sangat singkat, PGRI berpendapat program tersebut tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

"Mengingat waktu pelaksanaan yang sangat singkat, kami berpendapat bahwa program tersebut tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, serta menghindari berbagai akibat yang tidak diinginkan di kemudian hari," ujarnya.

Terlebih pihaknya menilai, bahwa seleksi kriteria pemilihan dan penetapan peserta program organisasi penggerak tidak jelas.

"PGRI memandang bahwa perlunya prioritas program yang dibutuhkan dalam meningkatkan kompetensi dan kinerja guru melalui penataan pengembangan dan mekanisme keprofesian guru berkelanjutan," imbuhnya.

PGRI berharap, Kemendikbud memberikan perhatian yang serius dan sungguh-sungguh pada pemenuhan kekosongan guru akibat tidak ada rekruitmen selama 10 tahun terakhir. Selain itu juga memprioritaskan penuntasan penerbitan SK guru honorer yang telah lulus seleksi PPPK sejak awal 2019, membuka rekruitmen guru baru dengan memberikan kesempatan kepada honorer yang memenuhi syarat, dan perhatian terhadap kesejahteraan honorer yang selama ini mengisi kekurangan guru dan terdampak pandemi.

"Dengan pertimbangan di atas, kami mengharapkan kiranya program POP untuk tahun ini ditunda dulu," tegasnya.

Senada, Anggota Dewan Pengawas Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti menilai, bahwa Program Organisasi Penggerak (POP) menuai kontroversi. Untuk itu, ia pun meminta POP tahun ini dibatalkan.

"Saya menyarankan, agar program ini dievaluasi atau dibatalkan sebelum dananya terlanjut dicairkan. Ini jangan-jangan buang-buang uang negara," katanya.

Retno menuturkan, POP yang didanai dari APBN sebesar Rp 567 miliar sangat menuai kontroversi. Pertama, mundurnya tiga organisasi besar, yakni Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan PGRI.

Kedua, lolosnya Yayasan Bhakti Tanoto (Tanoto Foundation) dan Yayasan Putera Sampoerna, yang mana merupakan yayasan milik perusahaan raksasa. "Ketiga, pelatihan yang diberikan juga dinilai sama-sama tidak jelas. Pada POP, kata Retno, banyak pelatihan yang tak relevan dengan tujuannya," ujarnya.

Sumber: