Sebentar Lagi Kekayaan Hasil Korupsi yang Disimpan di Swiss Bisa Dilacak dan Disita

Sebentar Lagi Kekayaan Hasil Korupsi yang Disimpan di Swiss Bisa Dilacak dan Disita

DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengesahan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana Antara Indonesia dan Konfederasi Swiss untuk menjadi UU.

Hal itu disepakati dalam sidang paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (14/7). Dengan begitu, pemerintah bisa melakukan pengumpulan data terkait aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss.

"Tentu langkah selanjutnya kami akan membentuk tim dan duduk bersama-sama dengan Bareskrim, Kejaksaan, KPK, serta Kementerian Luar Negeri. Tujuannya untuk melakukan pelacakan aset hasil tindak pidana yang disimpan di negara tersebut," kata Menkumham Yasonna H Laoly di Jakarta, Selasa (14/7) kemarin.

Selain itu, Indonesia juga akan bekerja sama dengan Swiss untuk membuka dan meminta data-data yang ada. Dia memastikan aset hasil tindak pidana yang disimpan di Swiss sebelum UU tersebut berlaku, tetap bisa dilacak dan disita oleh negara.

"UU ini bersifat retroaktif. Seluruh kejahatan fiskal, pencucian uang, atau apa saja yang terjadi sebelum perjanjian ini bisa tetap dilacak dan sita negara," tegas Yasonna.

Pemerintah, lanjutnya, akan terus menjalin perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance/MLA) serupa dengan negara-negara lain. Hal ini dilakukan sebagai upaya pemberantasan tindak pidana transnasional.

"RUU yang baru ini khusus antara Indonesia dengan Swiss. Sebelumnya, Indonesia sudah mengikat perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dengan Rusia, Iran, dan sejumlah negara lain. Misalnya dengan Serbia. Meski belum ada perjanjian ekstradisi dan MLA, tetapi Serbia sudah mengajukan draf. Ini akan kita bahas tahun depan," ucapnya.

UU yang mengatur tentang MLA dengan Swiss ini adalah upaya panjang yang dilakukan pemerintah Indonesia. Pembicaraan dirintis pada 2007 saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertemu Presiden Konfederasi Swiss Micheline Calmy-Rey di Istana Negara, Jakarta.

Ketika itu, Calmy-Rey sepakat dengan ide pemerintah Indonesia dan Swiss yang bekerja sama mengembalikan aset koruptor di negara tersebut. Pembicaraan kembali dilakukan pada 2010 saat Presiden Konfederasi Swiss Doris Leuthard berkunjung ke Indonesia.

Diskusi kembali dilakukan di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Perundingan pertama digelar pada 28-30 April 2015 di Bali. Dua tahun berikutnya, pada 30-31 Agustus 2017, digelar perundingan kedua di Bern, Swiss.

Pada 4 Februari 2019, Yasonna dan Menteri Kehakiman Swiss Karin Keller-Sutter menandatangani perjanjian MLA Indonesia-Swiss dalam pertemuan di Bernerhof, Bern, Swiss.

Yasonna menyebut RUU juga memuat fitur-fitur penting yang sesuai dengan tren kebutuhan penegakan hukum. Sehingga diharapkan dapat menjawab tantangan dan permasalahan tindak pidana yang dihadapi kedua negara.

"Penyelesaian kasus tindak pidana transnasional tidak mudah. Hal ini berbeda dengan penanganan kasus tindak pidana dalam teritorial negara. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana transnasional memerlukan kerja sama bilaterlal dan multilateral. Khususnya di bidang penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dan pelaksanaan putusan pengadilan," pungkas Yasonna.

Ketua Pansus RUU MLA RI-Swiss DPR RI, Ahmad Sahroni menjelaskan RUU ini terdiri dari 39 pasal. Antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, membantu menghadirkan saksi, meminta dokumen, rekaman dan bukti.

Sumber: