Ekonomi Indonesia Sudah Krisis, Sri Mulyani: Saya Tidak Melihat Kita Bisa Menghindar dari Krisis
Pertumbuhan perekonomian Indonesia yang melemah pada kuartal I/2020 hingga kuartal II/2020 menunjukkan kondisi ekonomi domestik sudah masuk dalam krisis ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2020 terperosok cukup dalam yang hanya mampu berada di level 2,97 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Pada kuartal II/2020, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan mengalami kontraksi hingga -3,1 persen. Proyeksi ini karena ekonomi masih mengalami tekanan negatif akibat pandemi Covid-19.
Selain itu, realisasi dana stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020 akibat pandemi Covid-19 masih sangat rendah. Padahal pemerintah telah menambah anggaran menjadi Rp677,2 triliun dari sebelumnya sebesar Rp641,7 triliun.
Misalkan, penyerapan anggaran stimulus untuk sektor kesehatan dalam mitigasi penyebaran corona baru mencapai 4,68 persen dari total dana yang dialokasikan sebesar Rp87,5 triliun. Rendahnya serapan ini mendapat sorotan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Saya tidak melihat kita bisa menghindar dari krisis. Kita sudah di krisis, tinggal pengumuman saja kinerja pada kuartal III/2020," ujarnya kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (3/6).
Dia menjelaskan, bahwa indikator ekonomi Indonesia sudah masuk fase krisis lantaran melihat pertumbuhan ekonomi dan realisasi stimulus ekonomi bagi masyarakat, dan dunia usaha yang tidak berajalan optimal. "(Indonesia sudah masuk resesi) Pertumbuhan ekonomi dan penyerapan anggaran pemerintah yang lamban," ucapnya.
Sementara Bank Indonesia (BI) justru memproyeksikan Indonesia terhindar dari resesi. Hal ini dilihat dari sejumlah indikator di mana pertumbuhan ekonomi mulai menunjukkan perlambatan cenderung tertahan pada Mei 2020.
"Memang too early (terlalu awal), tapi ini menggambarkan kita tidak menuju titik resesi seperti yang dikhawatirkan banyak orang," kata Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo, dalam video daring, kemarin (3/7).
Dia menjelaskan, bahwa indeks ekspektasi ekonomi berada di posisi 105,9 pada Mei lalu. Artinya, posisi tersebut pada titik landai dibandingkan pada Maret saat Covid-19 muncul di Indonesia.
Pun demikian dengan Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur yang menunjukkan perbaikan, walaupun masih kontraksi. BI mencatat, pada Mei PMI manufaktur di posisi minus 28,6, dari sebelumnya 27,5 di April. Nah, kondisi itu menunjukkan Produk Domestik Bruto (PDB) sudah mulai bergerak.
"Melihat PMI menggambarkan risiko investasi relatif perlambatannya tertahan. Ini menandakan ada beberapa kegiatan manufaktur relatif sudah kembali gerak karena linked (berhubungan) dengan bukanya ekspor ke China," ucapnya.
Selain itu, lanjut dia, aliran modal asing juga sudah mulai kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia. Pada periode Minggu keempat Juni hingga awal Juni, tercatat modal asing yang masuk (inflow) sebesar Rp3,3 triliun. Meskipun, sejak awal tahun masih tercatat aliran modal keluar (outflow) sebesar Rp139,38 triliun.
Bank sentral memprediksi pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun sebesar 0,9 persen-1,9 persen. Sementara pada kuartal II/2020, BI memprediksi pertumbuhan ekonomi lebih buruk dibandingkan kuartal I /2020 yang tercatat 2,97 persen. (din/zul/fin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: