Ekonom Optimis PEN Tak Bakal seperti BLBI

Ekonom Optimis PEN Tak Bakal seperti BLBI

Ekonom menilai program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam merespon krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 berbeda dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada krisis ekonomi 1998. Kebijakan PEN dengan aturan yang ketat, sebaliknya BLBI tidak ada pengawasan.

Oleh karena itu, ekonom senior INDEF Aviliani memastikan, langkah pemerintah mengeluarkan program PEN di kemudian hari tidak akan mendapatkan masalah seperti kasus BLBI.

"BLBI itu tidak ada pengasan dana restrukturisasi seperti saat ini secara ketat. (Program PEN) Diberikan pada institusi yang track record-nya bagus, dan tidak pernah menunggak kredit," katanya, kemarin (27/6).

Selain itu, lanjut dia, pada zaman BLBI belum ada lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengawasi mekanisme restrukturisasi keuangan sehingga potensi penyelewengan berpeluang sangat besar.

Dia menyebutkan, dari total 15,29 juta debitur potensial merestrukturisasi kredit ada 41 persen sudah melakukan restrukturisasi. Sebesar 42 persen debitur non UMKM, dan 40 persen debitur UMKM juga sudah merestrukturisasi kredit. Adapun nilai restrukturisasi kredit hingga 10 Juni 2020 mencapai Rp655 triliun. sebesar Rp356 triliun dari non UMKM, dan Rp298 triliun dari UMKM.

Sementara dari sisi rumah tangga, lanjutnya, banyak masyarakat kehilangan pekerjaan, penurunan pendapatan, penurunan daya beli, tidak mampu membayar kredit, dan mengalami masalah kesehatan. Sedangkan dari sisi UMKM, terjadi penurunan aktivitas bisnis akibat penerapan PSBB, seperti penutupan usaha, dan ketidakmampuan membayar angsuran.

Dengan kondisi demikian, menurutnya, berdampak pada sektor perbankan. Misalnya permintaan restrukturisasi kredit, terjadi masalah likuiditas, penurunan solvabilitas, dan tekanan terhadap pasar uang dan pasar modal. Imbas lainnya, nilai tukar Rupiah yang rentan. Nah, kondisi ini harus diwaspadai selama vaksin Covid-19 belum ditemukan. Hal ini, berdampak ketidakpastian ekonomi. "Jika vaksin sudah ditemukan, diperkirakan akan mereda (ekonomi tumbuh). Namun, vaksin juga membutuhkan waktu lebih dari enam bulan sampai setahun. Nah, pemulihan ekonomi masih tidak pasti, ini perlu diantisipasi," katanya.

Dalam kesempatan yang berbeda, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani membeberkan transparasi dan tantangan akuntabilitas alokasi anggaran penanganan dampak pandemi Covid-19 sebesar Rp695,2 triliun. Bendahara negara itu mengaku memang tak semua kebijakan yang diambil memiliki studi atau bukti ketepatan yang memadai akibat faktor urgensi. Meski begitu, kebijakan tersebut dasar keputusan yang diambil pemerintah. "Pemerintah pada saat menangani situasi sekarang fokusnya menjadi multiple (beragam), urgensi dan emergency (darurat). Tapi, harus akuntabel dan diperiksa," katanya.

Di sisi lain, menurut Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu di era saat ini yang terbantu dengan teknologi digital, sehingga setiap rapat yang diadakan disimpan dalam rekaman, sehingga memudahkan untuk diserahkan kepada auditor. Selain itu, ia juga selalu siap diaudit oleh lembaga pengawas seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di kemudian hari.(din/fin)

Sumber: