Rupiah Masih Rentan Melemah

Rupiah Masih Rentan Melemah

Penguatan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) masih rentan. Sebab mata uang Garuda bisa dengan cekat melemah kembali.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengatakan, perkasanya Rupiah disebabkan karena adanya sejumlah permasalah internal di Negeri Paman Sama itu.

"Salah satunya, Rupiah menguat karena adanya demonstrasi besar-besaran di AS, efek sengketa AS dan Cina terkait masalah Hong Kong, dan ancaman Presiden Trump mau keluar dari WHO," ujarnya, kemarin (7/6).

Menguatnya Rupiah juga akibat situasi geopolitik yang tak pasti, sehingga pelaku pasar global mulai meninggalkan Dolar AS. "Ini karena Dollar index terkoreksi sebesar -1,87 persen dalam sepekan terakhir menjadi level 96,5. Dollar index adalah perbandingan Dollar AS dengan 6 mata uang negara lain termasuk Euro dan Yen Jepang,” katanya.

Karenanya, menurut Bhima, masih terlalu dini sentimen positif Rupiah. Sebab apabila aksi demontrasi sudah mulai mreda, Dolar berpotensi akan melambung lagi. "Untuk itu, pemerintah harus waspadai pembalikan arah dana asing. Sebab Dolar AS bisa rebound lagi," ucapnya.

Sarannya, pemerintah tetap konsisten dan fokus dalam menangani pandemi Covid-19 dengan protokol kesehatan yang lebih baik, dan juga stimulus yang tepat sasaran, serta juga memperhatikan keberlangsungan dunia usaha.

Berbeda, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede berpandangan penguatan nilai tukar Rupiah belakangan ini disebabkan beberapa faktor. Salah satunya masuknya arus dana asing dari India sehingga Rupiah melonjak.

Pemindahan aset dari pasar Indonesia ke Indonesia karena adanya penurunan rating dari BAA2 menjadi BAA3 dan menurunkan outlooknya dari stabil menjadi negatif. "Penurunan ini diperkirakan menjadi salah satu faktor pendorong perpindahan aset ke Indonesia, sehingga meningkatkan permintaan akan Rupiah. Hal ini membuat Rupiah menjadi menguat," katanya.

Sementara itu, dari faktor domestik penguatan Rupiah karena adanya transisi pembukaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh beberapa daerah, seperti DKI Jakarta. Kebijakan ini diharapkan bisa mendorong peningkatan produksi perekonomian setelah menurun tajam saat implementasi PSBB di berbagai daerah di Indonesia.

"Dengan implementasi PSBB yang terbatas, yang kemudian diikuti implementasi new normal, maka aktivitas ekonomi pada kuartal III/2020 akan lebih baik dibandingkan pada kuartal II/2020. Selanjutnya, pada kuartal IV/2020 semakin membaik," ucapnya.

Sebelumya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan Rupiah akan berpotensi terus menguat. Penguata ini setelah mempertimbangkan tingkat inflasi yang rendah.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada pada inflasi Mei 2020 sebesar 0,07 persen (month to month/mtm) dan 2,19 persen (year on year/yoy). Tingkat inflasi lebih rendah dibanding pola historisnya.

Kemudian, penguatan juga ditopang oleh perbedaan suku bunga luar negeri dengan di dalam negeri (Interest rate differential) sehingga memicu minat para investor. Selain itu, penguatan rupiah ditopang dari menurunnya indikator premi risiko/premi credit default swap (CDS) di level 126, setelah sebelumnya berada di level 245.

"Alhamdulillah dengan rahmat Allah SWT bagi ekonomi Indonesia, siang ini Rupiah sudah tembus di bawah Rp14.000. Bid over Rp13.855 dan over Rp13.960," ujarnya, Jumat (5/7). (din/zul/fin)

Sumber: