Lebaran di Tengah Pandemi Corona

Lebaran di Tengah Pandemi Corona

Oleh: Dr. AI Hamzani*)

UMAT Islam merayakan lebaran kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya akibat Corona Virus Disease (Covid-19). Selama pandemi Covid-19 ini, ada sejumlah anjuran dan protokol kesehatan yang harus dilakukan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19.

Beberapa anjuran Pemerintah untuk melakukan aktivitas di rumah adalah mulai dari bekerja, belajar dan beribadah, maupun kegiatan-kegiatan lain. Anjuran tersebut dalam rangka menjaga jarak fisik menghindari kerumunan dan massa sesuai protokol kesehatan.

Pemerintah juga mengeluarkan larangan mudik. Bahkan untuk membatasi penyebaran Covid-19, ada pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah daerah.

19 memang begitu dahsyat. Virus yang bermula dari Kota Wuhan, Tiongkok, mampu membuat repot negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Italia, Jerman, Spanyol, Arab Saudi, dan sebagainya. Negara-negara yang notabenenya memiliki segalanya harus berjibaku menghadapi virus kecil yang sangat mematikan.

19 telah menjadi pandemi global yang mendatangkan kepanikan dan fear attack di seluruh dunia. Ancamanya terhadap nyawa, menimbulkan rasa was-was, takut dan terkadang “panik berlebihan”.

Betapa dahsyatnya pengaruh Covid-19, sehingga seluruh tatanan dunia diguncang dengan “perang metafisika” menghadapi asumsi-asumsi yang belum dapat dipastikan sampai kapan akan berakhir.

Selama vaksinya belum ditemukan, hanya langkah-langkah antisipatif yang dilakukan mulai dari yang sederhana yaitu cuci tangan dengan sabun, memakai masker, hingga mengikuti protokoler pshycal distancing.

Meskipun merayakan lebaran “tetap di rumah”, namun umat Islam dapat melaksanakan ritual inti dari lebaran, yaitu shalat Id yang dapat dilaksanakan di rumah, dan sebelumnya membayar zakat fitrah. Memang, bagi masyarakat Indonesia khususnya ada yang berbeda.

tahun sebelumnya suasana Lebaran dengan shalat Id di masjid, atau lapangan terbuka, dilanjutkan silaturahmi secara fisik untuk bersalam-salaman saling meaafkan kepada sanak keluarga dan handai taulan, juga berkumpul dengan keluarga yang baru saja mudik, tahun ini harus ditiadakan dalam rangka menghindari kerumunan. Bahkan Pemerintah menetapkan larangan mudik.

Peristiwa yang berbeda ini dapat dijadikan moment untuk kembali menghayati makna Idul Fitri sesungguhnya, yaitu kembali boleh makan setelah selama 1 bulan penuh melaksanakan puasa, salat tarawih, membayar zakat, juga ibadahi-ibadah ritual lainnya telah tuntas dilaksanakan.

Tidak ada silaturakhim, tidak ada mudik sama sekali bukan masala besar dan tidak berpengaruh pada ibadah-ibadah yang telah dilakukan selama Ramadhan. (*/zul)

*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

Sumber: