JAKARTA, radartegal.id- Penerbitan hasil ijtima Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-8 mengenai pelarangan ucapan salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan mendapat respon dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Dalam keterangan resmi yang dilayangkan, Selasa, 11 Juni 2024, BPIP menegaskan jika pelarangan tersebut jelas menegasikan kewajiban ormas sebagaimana diatur dalam Pasal 21 huruf b UU Organisasi Kemasyarakatan di atas.
Secara eksistensi, MUI tercatat sebagai sebuah organisasi masyarakat yang harus tunduk dan taat pada Pancasila dan UU Organisasi Kemasyarakatan yang regulasi tersebut mengatur bahwa setiap ormas berkewajiban untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI.
"Indonesia adalah negara yang besar dengan berbagai suku, agama dan kepercayaan, ras, dan golongan. Kebhinnekaan ini adalah kekayaan yang harus kita pelihara dan jaga bersama," tulis BPIP.
Toleransi antarumat beragama menjadi salah satu kunci untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, sebagai negara yang berlandaskan Pancasila, Indonesia harus memperkuat semangat toleransi dan keberagaman, bukan merusak sendi-sendi persatuan.
Kekuatan Indonesia juga tercermin dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang telah menjadi perisai dalam menjaga keutuhan hidup berbangsa dan bernegara sejak zaman nenek moyang kita sehingga toleransi, semangat pluralisme, dan kerukunan beragama telah hidup secara kultural menjadi bagian dari identitas bangsa Indonesia.
Kekayaan keberagaman dan eksistensi atas toleransi ini mendapatkan tantangan dari adanya organisasi masyarakat (ormas) keagamaan yang mencoba membangun hegemoni dengan tafsir tunggal mengenai pelarangan terhadap ucapan salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan.
Hal ini dianggap memiliki dimensi peribadatan dan doa.
"Terbitnya hasil ijtima ini akan berpotensi merusak kemajemukan bagi warga negara karena realitasnya bangsa Indonesia ini terdiri dari 714 etnis, keragaman agama, dan kepercayaan," lanjut BPIP.
Eksistensi ini telah berlangsung ratusan tahun hidup berdampingan secara damai, sekaligus menjadi kearifan bangsa, sehingga negara tidak boleh tunduk kepada hasil ijtima yang menyebabkan terjadinya eksklusivitas dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Terkait hal itu, berikut ini sikap dan rekomendasi BPIP. Di antaranya, BPIP sebagai representasi negara yang bertugas menginternalisasi nilai-nilai Pancasila.
Memiliki peran untuk memastikan kesatuan dan keutuhan berbangsa dan bernegara dapat terjaga agar eksistensi negara ini tidak diintervensi oleh dominasi kekuatan agama tertentu.
Atas permasalahan ini, BPIP memberikan respon secara teologis, terdapat perbedaan antara agama dan pemikiran agama, agama dan penafsiran agama. Hasil ijtima adalah pemikiran agama yang memiliki tafsir yang majemuk bukan mutlak sehingga tidak memiliki kebenaran yang tunggal dan absolut.
Hasil ijtima harus dibentuk atas perspektif yang luas, termasuk mempertimbangkan dokumen dan kesepakatan internasional. Di antaranya seperti The Amman Message, 9 November 2004; Marrakesh Declaration, 25-27 Januari 2016, tentang Hak-hak Minoritas Beragama di Dunia Islam.
Kemudian, Abu Dhabi Declaration, 4 Februari 2019, tentang Persaudaraan Umat Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Kehidupan Bersama (Declaration on Human Fraternity for World Peace and Living Togerher); juga kesimpulan seminar internasional, Universitas Al-Azhar, Kairo, 27-28 Januari 2020; serta harus diuji secara publik.
Pancasila sebagai ijtihad yang sudah disepakati oleh semua pihak (sehingga menjadi ijma/konsensus tertinggi, terlengkap, dan paling mengikat/binding) memiliki derajat keislaman yang telah diuji dan dibuktikan secara substantif.