Mitos dan larangan masyarakat Bali berikutnya yaitu tidak boleh bertanya apapun kepada orang yang akan pergi ke tempat tajen (sabung ayam).
Konon, jika tetap bertanya, orang-orang tua di Bali percaya bahwa nantinya orang tersebut bisa mengalami kekalahan, alias ayamnya akan kalah saat tajen.
5) Tidak boleh bersembahyang tepat di bawah cucuran atap
Masyarakat Bali percaya jika sembahyang tepat di bawah cucuran atap nantinya bisa mengganggu jalan dunia alam lain. Sebab, masyarakat Bali selalu percaya hal-hal yang tak kasat mata.
BACA JUGA : Mitos dan Keajaiban di Balik 4 Pantai Indonesia yang Terhubung dengan Ratu Nyi Roro Kidul
6) Dilarang mengucap kata ‘capek’ atau ‘kenyel’ dalam bahasa Bali
Mitos dan larangan di Bali satu ini berlaku utamanya ketika menuju puncak Pura Lempuyang Luhur. Pura ini memiliki sekitar 1.700 anak tangga yang harus dinaiki untuk bisa sampai puncaknya.
Ketika sedang menapaki anak tangga inilah, orang tidak boleh mengatakan kenyel atau capek atau lelah. Konon, nantinya justru perjalanan akan semakin berat dan lama untuk sampai di puncak Pura.
7) Tidak boleh menggunakan emas saat mendaki Gunung Agung
Siapapun yang mendaki Gunung Agung dilarang untuk membawa atau menggunakan emas. Entah itu dalam bentuk aksesoris maupun peralatan lainnya. Sebab, mitos menyebutkan emas nantinya bisa memicu nasib malang kepada pendakinya.
8) Dilarang membawa daging sapi ke Gunung Agung dan mendaki saat berduka
Mitos dan larangan kepercayaan masyarakat Bali satu ini masih tentang Gunung Agung. Selain tidak boleh membawa atau mengenakan emas, pendaki juga tidak boleh membawa daging sapi.
Hal ini dipercaya bisa membawa nasib sial untuk pendaki itu sendiri. Selain itu, masyarakat Bali utamanya Hindu juga tidak mengonsumsi sapi, yang dipercaya merupakan kendaraan Dewa Siwa.
Ada juga mitos lain menyebutkan bahwa di Gunung Agung ada sapi hitam besar dan hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu.
Selain daging sapi, orang yang memiliki kabar duka seperti salah seorang keluarga meninggal juga tidak boleh mendaki gunung. Sebab, adanya keluarga yang meninggal bisa membuat kawasan gunung jadi kotor dan berujung akan ada musibah fatal.
BACA JUGA : Kisah Putri Raja Bali yang Mualaf dan Dibunuh Ayahnya Sendiri Akibat Kesalahpahaman