Oleh: Dahlan Iskan
MEILING sudah tahu. Saya tidak bisa ikut ''upacara'' setelah makan seperti itu. Terlalu panjang. Terlalu lama. Terlalu malam. Saya harus mengatur istirahat.
"Biar mereka happy-happy di sini. Anda saya antar pulang ke hotel. Besok pagi-pagi kan harus senam," ujar Meiling. Ia pun pamit suaminyi. Juga pamit teman-temannyi itu. Dia yang mengemudikan mobil Bentley suaminyi. Seharga Rp18 miliar.
Upacara seperti itu sebenarnya sudah sangat biasa saya ikuti –secara pasif. Di Singapura. Di Hongkong. Di Taiwan. Di banyak kota di Tiongkok.
Awalnya mereka hanya memesan anggur merah: wine. Saat mulai makan. Satu botol. Dituangkan ke gelas khusus wine masing-masing. Gelas itu pun diangkat. Saling bersulang.
Saya selalu menyentuhkan gelas saya lebih rendah dari gelas mereka: berisi air putih. Itu sebagai penanda saya lebih junior –di bidang ini. Juga penanda saya lebih menghormati mereka.
Sebagian dari mereka membalas sopan santun itu. Dengan cara lebih merendahkan posisi gelas mereka. Saya kembali merendahkan lagi gelas saya. Mereka juga kembali merendahkan gelas mereka.
Begitulah adat mereka.
Boleh dikata, setiap selesai menyuap satu sendok salah satu dari mereka mengajak bersulang. Satu sendok lagi, yang lain yang mengajak bersulang. Sekali makan begini bersulangnya bisa 50 kali.
Satu botol itu pun habis.
Datang lagi botol berikutnya. Sebagai wartawan, saya kurang cermat: tidak menghitung berapa botol yang sudah mereka minum.
Begitu makanan habis. Dipesanlah botol jenis lain. Baijiu. Spirit. Arak. Warna bening. Gelas pun diganti yang kecil. Diisi es batu. Bai jiu pun dituangkan. Sekali teguk. Gan bei!
Lalu diisi lagi. Dituangkan lagi. Sambil terus ngobrol. Teguk lagi. Ngobrol lagi. Gan bei lagi.
Sebagian wajah mereka mulai memerah. Ada juga yang tidak. Yang tidak merona itu pertanda lebih kuat.
Saya bagian menuangkannya. Daripada ikut meminumnya. Es batu habis. Mangkuk penuh es batu berikutnya disajikan. Ini pertanda satu botol itu bukan yang terakhir.