Masih banyaknya mantan narapidana (napi) kasus korupsi yang ingin atau dicalonkan partai di Pemilu dan Pilkada 2024 disoroti sejumlah pengamat. Menurut mereka, jika para napi nyalon, demokrasi kita jadi tak sehat.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin, jika mantan napi kasus korupsi masih berminat maju di Pilkada atau Pemilu 2024 mendatang, dipastikan tidak ada perbaikan dan penyehatan demokrasi di Indonesia.
Meskipun, ungkap Ujang, para mantan napi korupsi itu masih punya hak dipilih dan memilih. “Tapi apa Indonesia kekurangan tokoh, hingga mantan napi masih saja maju?” kata Ujang.
"Bagaimana demokrasi kita mau sehat, kalau diisi calon yang tidak sehat juga," tanyannya lagi.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) ini memastikan masih banyak tokoh potensial yang mampu membangun bangsa maupun daerah. Lalu kenapa masih banyak saja mantan napi maju di perhelatan politik?
“Parpol harus mampu menyaring, mana yang baik dan tidak. Harus mampu menghadirkan calon pemimpin daerah berkualitas, bukan malah menyodorkan eks napi,” tegasnya.
Ujang meragukan kualitas mantan napi yang menjadi caleg atau calon kepala daerah untuk tidak melakukan kejahatan lagi. “Saya kok khawatir calon kepala daerah atau caleg eks napi yang dimajukan parpol itu,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka.
Ujang berharap, partai mau memikirkan baik-baik dalam menentukan calon. Karena, bisa saja masyarakat akan mencap jelek parpol yang memajukan mantan napi.
“Takutnya masyarakat akan sebut parpol itu sebagai sarang penyamun atau penjahat karena masih calonkan orang yang jelas-jelas mantan napi koruptor,” bebernya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati menyatakan hal yang sama dan mendesak parpol tidak mencalonkan mantan napi kasus korupsi pada Pemilu dan Pilkada 2024.
“Jika partai ingin dinilai betul-betul memiliki semangat anti koupsi, seharusnya menghindari orang dengan latar belakang demikian (mantan napi) untuk dicalonkan,” ujarnya.
Khoirunnisa menilai, partai memiliki peran penting mencegah eks koruptor kembali memegang jabatan publik. Hal ini mengingat untuk menjadi anggota legislatif, seseorang harus mendaftarkan melalui partai. Begitu pula dengan calon kepala daerah yang diusung partai.
“Saringan utamanya ada di partai politik,” tegasnya.
Dikatakan, Undang-Undang (UU) tidak mengatur bagi mantan koruptor untuk kembali ke partai. Yang diatur adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pencalonan mantan terpidana kasus korupsi di Pileg dan Pilkada.
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur pencalonan dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur pencalonan kepala daerah.