"Berarti ketinggalan di Sumbawa Besar," kata saya.
Mau balik sudah tujuh jam di belakang.
"Oh... Ketinggalan di apotek," kata saya.
Memang, tadi mampir apotek. Cari obat. Tidak dapat. Obat saya ketinggalan di Lombok.
Di balik keindahan ternyata sering ada persoalan.
Untuk menulis naskah, sih, bisa pinjam HP teman. Kebetulan ada bahan tulisan yang sudah siap di kepala: Dian Ciputra itu.
Tapi untuk memilih komentar tidak ada waktu lagi. Memilih komentar lebih lama dari menulis naskah. Itu karena semua komentar harus saya baca.
Kadang, ketika baru membaca sepertiga, sudah mendapat banyak komentar pilihan. Tapi selalu muncul perasaan seperti ini: tidak adil kalau tidak dibaca semua, siapa tahu di bawah-bawah juga ada yang layak dipilih.
Supaya adil: tidak ada yang dipilih!
Kebetulan, kami sudah sampai di rumah kepala dusun. Sudah pukul 20.00. Hujan pula. Lelah. Ngantuk. Lapar. Jadi satu di puisi kehidupan.
Saya lihat putri kepala dusun bergegas masak: di dapur kayu itu. Tidak hanya api yang menyala dari dapur itu. Hope dari perut pun ikut menyala-nyala.
"Di mana ayahanda?" tanya saya.
"Di kebun. Jaga tanaman jagung," jawabnya.
"Ibu di mana?"
“Tengok cucu yang di Mataram".
"Suami?"