Emansipasi sebagai perwujudan kemandirian perempuan ternyata juga berdampak membuat posisi mereka setara dengan laki-laki. Mereka pun tak lagi bergantung pada laki-kaki.
Nah, tingginya angka istri menggugat cerai di sejumlah daerah di Tanah air seperti Makassar misalnya dipicu banyak faktor. Emansipasi salah satunya.
Perempuan atau para istri mengajukan permohonan perceraian memang sebuah fenomena menurut dosen psikologi Universitas Bosowa (Unibos) Sulasmi Sudirman. Bahkan jumlahnya nyaris empat kali lipat dibandingkan suami menalak istri.
Fenomena ini banyak terjadi sejak kesetaraan gender makin menggaung. Para perempuan di Indonesia menjadi lebih banyak mengecam pendidikan tinggi dan memiliki peran di ranah publik.
Awalnya, ruang itu didominasi oleh kaum laki-laki. Gerakan ini membuat perempuan menjadi mandiri dalam segala hal. Kondisi ini tidak disertai kesiapan laki-laki untuk terlibat dalam gerakan kesetaraan gender atau emansipasi.
Dalam hal ini laki-laki tidak dipahamkan dan tidak berada dalam proses transisi, yakni pergeseran peran perempuan dari ranah domestik menuju ruang publik yang luas.
Sehingga, saat ini dunia pernikahan menjadi hubungan "modern". Pernikahan bukan lagi relasi abadi, melainkan sebuah hubungan yang memiliki batas waktu.
"Suksesnya gerakan emansipasi tersebut tidak dibarengi dengan mengakarnya pemahaman pernikahan dalam masyarakat," urai Sulasmi, kemarin.
Dengan kondisi demikian, hubungan pernikahan terikat sangat rapuh. "Sering kali pernikahan disamakan dengan dating (pacaran) yang bisa berakhir kapan saja. Karena kedua belah pihak bisa mandiri dalam segala hal," sambungnya.
Gerakan kesetaraan, bahkan hingga sangat liberal, juga tidak dibarengi dengan pandangan masyarakat bahwa menikah itu untuk memperlihatkan status, desakan usia, atau menikah karena desakan keluarga.
Situasi ini membuat pasangan menikah tidak menemukan faktor internal dan motif internal atas alasan mereka menikah. Akibatnya, pernikahan dibangun dengan fondasi yang sangat lemah.
"Sejatinya pernikahan merupakan visi dua orang yang perlu diwujudkan, dan dalam menjalankan pernikahan perlu ada relasi interdependensi atau saling membutuhkan, saling melengkapi, menghilangkan ego," tambah Sulasmi.
Bukan Alasan Sebaliknya, Ketua Pengurus Wilayah Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Sulsel Nurul Ulfah Mutthalib mengatakan emansipasi atau kesetaraan gender tidak dapat dijadikan dasar atas tingginya angka perempuan yang menggugat cerai.
Pernikahan mestinya tidak akan membawa masalah. Itu jika tidak dijalankan di atas dasar ego dan relasi kuasa. Sebab, hubungan demikian akan membawa kekerasan pada istri.
Superioritas suami akan membuat semua keputusan keluarga berada di tangannya. "Hal tersebut terjadi, maka perempuan bisa mengambil langkah agar hal ini tidak terus berlangsung," terangnya.