Penyelenggara negara diingatkan untuk melaporkan segala bentuk gratifikasi yang diterimanya. Peringatan itu disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron, Selasa (30/11).
Ghufron bahkan menganggap hadiah yang diberikan dari keluarga maupun relasi kepada penyelenggara negara sifatnya adalah gratifikasi. Ghufron menjelaskan bahwa gratifikasi diatur dalam Pasal 12 B Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Pasal tersebut, kata Ghufron, penyelenggara negara dilarang untuk menerima hadiah. "Bagi antarwarga boleh saja, Anda dengan pacar, Anda dengan mertua, itu enggak masalah," kata Ghufron dalam diskusi yang diselenggarakan KPK, Selasa (30/11).
Namun demikian, lanjut Ghufron, apabila hadiah itu diberikan kepada penyelenggara negara, maka sifatnya gratifikasi. Meski ada hubungan kekeluargaan atau intim di dalamnya.
"Kalau kemudian ternyata pacar Anda adalah bupati, mertua Anda adalah dirjen, adalah menteri, itu yang kemudian sudah diliputi aspek hukum gratifikasi. Maka gratifikasi kepada penyelenggara negara kemudian dianggap sebagai suap jika tidak dilaporkan," kata Ghufron.
Pria berlatar belakang akademisi itu menyatakan gratifikasi pada prinsipnya ialah semua bentuk hadiah, baik uang, barang, ataupun jasa. Setiap penyelenggara negara yang menerima hal tersebut, maka wajib melaporkannya ke KPK selama 30 hari kerja.
Apabila penyelenggara negara tidak melaporkannya, lanjut Ghufron, maka gratifikasi tersebut diasumsikan oleh hukum sebagai suap.
Lebih lanjut kata Ghufron, nantinya KPK akan melakukan penilaian terhadap hadiah itu. Apabila di bawah Rp10 juta, maka hadiah itu dikembalikan kepada penerima. Namun, KPK tetap menerima argumen pembuktian penerima hadiah sebelum memutuskan apakah hal itu masuk dalam kategori suap.
"Jika suap, maka kami kemudian tetapkan sebagai gratifikasi yang dirampas negara dan hasil rampasannya disetorkan kepada negara," tandas dia. (riz/zul)