Oleh: Dahlan Iskan
SETELAH ada jalan tol Jakarta-Surabaya, kawasan Pati-Kudus-Rembang-Grobogan tiba-tiba seperti daerah pedalaman nan jauh.
Dari Semarang: jauh.
Dari Solo: jauh.
Dari Surabaya: jauh.
Rombongan tim senam saya perlu waktu 8 jam dari Surabaya. Untuk tiba di Pati. Naik bus carteran.
Memang akan ada jalan tol baru: dari Semarang ke Kudus. Yang sekarang sedang dikerjakan. Khususnya yang Semarang-Sayung-Demak. Lebih khusus lagi yang Sayung-Demak. Sedang yang Semarang-Sayung harus mundur satu tahun. Akan hal yang Demak-Kudus perlu segera disusulkan.
Ruas Semarang (Kaligawe)-Sayung memang rumit. Panjangnya ''hanya'' 10 Km tapi medannya berat. Tergolong yang terberat di Indonesia: tanah lembek, berbentuk tambak, dan jadi sasaran genangan air pasang dari laut (rob).
Maka untuk jalan tol sepanjang 10 Km itu diperlukan biaya Rp10 triliun sendiri. Padahal ruas berikutnya, Sayung-Demak, 16 Km hanya perlu biaya Rp4,5 triliun.
Begitu sulitnya, ruas Semarang-Sayung itu memerlukan jutaan batang bambu. Untuk mengubah struktur tanah di bawah tol itu. Bambu itu dirangkai. Dihamparkan di atas tanah. Lalu ditimbun tanah. Dihampari lagi bambu yang sudah dirangkai. Ditimbuni tanah lagi. Dihampari lagi rangkaian bambu lagi. Ditimbuni tanah lagi. Tiga lapis.
Cara seperti itu baru pertama dilakukan di Indonesia. Proyek tol memang telah melahirkan kemampuan teknik yang sangat besar di lingkungan insinyur sipil kita.
Ruas tol ini sekaligus akan menjadi tanggul laut. Agar rob terbendung hanya sampai di jalan tol itu. Dengan demikian kawasan di selatan jalan tol akan kembali bisa menjadi tanah produktif.
Maka kawasan Pati dan sekitarnya masih harus sabar untuk bisa keluar dari isolasi. Khususnya bagi kendaraan kecil. Sedang bagi kendaraan besar ada aturan tersendiri.
Itulah sebabnya mengapa truk-truk besar masih tetap memadati pantura. Biar pun sudah ada jalan tol.
Dugaan awal: tol terlalu mahal.