Lebih banyak lagi yang menawari gelar kehormatan doktor. Hanya satu yang saya terima. Yang dari dalam negeri. Yakni ketika tawaran itu datang dari IAIN Walisongo Semarang. Itu pun karena dirayu beberapa orang dekat untuk menerimanya.
Dan lagi tawaran itu kan datang dari IAIN. Masih agak liniar'' hahaha.
Tapi yang membuat saya tertarik adalah naskah pertanggungan jawab dari promotor gelar itu. Sangat akademik. Yang menyusun adalah Prof Dr Nur Syam. Beliaulah promotor gelar itu.
Belakangan saya tahu beliau orang Tuban. Di sana pula beliau lulus PGAN (sekolah pendidikan guru agama negeri). Lalu S-1 di fakultas dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Meski orang IAIN, Prof Nur Syam memperoleh gelar doktor dari Fisipol Universitas Airlangga. Di Unair pula beliau memperoleh gelar profesor.
Lalu balik lagi ke IAIN. Bahkan belakangan terpilih sebagai rektor di UIN Sunan Ampel.
Belum lagi menyelesaikan jabatan rektor beliau diangkat menjadi dirjen Pendidikan Islam. Lalu berlanjut menjabat sekjen Kementerian Agama.
Rasanya, saat menjadi promotor saya itu beliau dalam posisi sebagai sekjen itu.
Sejak hari itu sebenarnya saya mendapat gelar itu. Tapi sejak itu pula saya tidak pernah menggunakannya.
Saya tahu: itu gelar kehormatan. Bukan gelar doktor sungguhan —yang diperoleh lewat kerja penelitian serius yang metodologis sistematis.
Saya memang seide dengan Prof Nur Syam: moderat dalam beragama. Dan ternyata beliau punya rumah di dekat rumah saya. Satu kompleks: Sakura Regency. Berarti satu kompleks juga dengan KSAL Laksamana Yudo Margono —hanya selisih dua rumah dari saya.
Profesor (sungguhan) Nur Syam sudah bukan pejabat tinggi lagi. Tapi produktivitasnya kian tinggi. Terutama dalam menulis buku. Kemarin, saya dikirimi buku beliau yang baru lagi: Perjalanan Etnografis Spiritual. Bahkan beliau mendirikan kelompok studi Islam moderat: Nursyam Center dan School of Friendly Leadership.
Saya tahu: banyak pihak di luar saya yang mencantumkan gelar itu di depan nama saya. Sebagian bisa saya cegah. Sebagian lagi tidak.
Pun ketika saya mendapat gelar doktor HC dari sebuah universitas Katolik di Manila, Filipina. Dengan upacara yang anggun di kampus itu. Saya jadi tahu begitulah tata cara di sana.
Saya juga tidak pernah menggunakannya.
Apalagi sekarang saya sudah 70 tahun. Juga tidak lagi punya kartu nama.