Seseorang individu merupakan Djoko Pring atau Mandhor Klungsu (penjaga inti terdalam). Klungsu yang bakal jadi cikal bakalnya pokok kelapa. Apabila manusia dapat diumpamakan sebagai kelapa, maka orang harus mengupas dulu sabutnya untuk ketemu tempurung, perlu mengupas tempurung untuk ketemu kenthosnya, klungsunya.
Sementara Pring itu deling, ngandel lan eling. Ungkapannya pring podho pring, weruh podho weruh, eling podho eling, ingat, sadar terus menerus akan Tuhannya dan sesamanya. Konsep yang hampir sama dengan CG. Jung dengan The Undiscovered Self.
Psikologi jawa yang kedua adalah Candra Jiwa Soenarto yang diturunkan dari kitab Sasangka jati Soemantri Hardjoprakosa. Dalam kawruh ini, manusia hidup dalam tiga lingkungan, yakni alam sejati, badan halus dan badan jasmani.
Di alam sejati itulah hadir suksma kawekas, suksma sejati, dan roh suci. Suksma kawekas adalah ada yang yang tak berubah, suksma sejati adalah ada yang berubah, sedangkan roh suci adalah ada manusia dalam badan halus.
Ketiganya disebut Tri Purusa, dan Aku adalah cerminan dari Tri Purusa. Manusia melalui Rahsa Jatinya berkomunikasi dengan Roh Suci, Suksma Sejati dan Suksma Kawekas, agar Eling, pracaya, lan mituhu. Jiwa atau badan jasmani mempunyai tiga kemampuan: Angen-angenan (yang membuat manusia eling, sadar).
Cipta yang membawa pangaribawa, nalar membawa prabawa, pangesti membawa kemayan. Perasaan (menerima atau menolak) adalah dasar dari pracaya, sementara nafsu (amarah, supiah, mutmainah, lauwamah) adalah dasar dari taat.
Konsep Sadar, Percaya, Taat, konsep yang sama dengan konsep Psikoanalisa Sigmund Freud, Id, Ego, Superego ini diharapkan berkembang sebagai transpersonal psychology.
Dan psikologi jawa berikutnya adalah ajaran Ki Ageng Soerjomentaram yang berkontribusi pada masyarakat Jawa agar tetap bisa bahagia dalam situasi “keplenet” yang seperti apa pun. Semula wejangannya diberi nama Kawruh Bagja Sawetah kemudian Kawruh Jiwa, dan pangawikan pribadi.
Rasa hidup serta sifat rasa yang mulur-mungkret. Ungkapan Jawa sebagai tempat rasa terwujud, utamanya bahwa hidup bahagia bila rasa itu ditata, karena di dunia ini tidak ada yang layak dihindari mati-matian atau dikejar mati matian.
Ungkapan Jawa Rasa kang samadya dengan kaidah “6 sa”: sabutuhe, saperlune, sacukupe, sapenake, samesthine, sabenere. “Orang tidak dianjurkan untuk “ngangsa-angsa, ngaya-ngaya, golek benere dhewe.
Rasa, Aku (Kramadangsa) dan mawas diri adalah tiga pokok penting dalam ajaran Ki Ageng suryamentaram. Rasa adalah kesadaran manusia seutuhnya, Rasa iku Aku. Mahluk hidup mempunyai rasa hidup. Rasa hidup mendorong mahluk hidup bergerak, dan gerak ini dimaksudkan untuk kelangsungan hidup.
Manusia mempunyai kemampuan untuk mengerti tujuan hidup dan kebutuhan hidup dengan pikirannya, dan tindakan yang dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dan mencapai tujuan didasarkan pada ilmu/pendidikan.
Kebutuhan dan tujuan hidup membuat manusia bercita-cita/ berkehendak. Kegagalan mencapai cita-cita adalah sumber derita. Ki Ageng Suryamentaram juga memilahkan antara rasa yang merasakan dan rasa yang dirasakan.
Pengetahuan tentang diri sendiri ini sama dengan pengetahuan hal jiwa, yang disebut Pengawikan Pribadi. Dalam Pengawikan Pribadi individu menemukan jati diri sebagai manusia. Manusia dengan ciri ciri itulah yang bakal merasakan hidup bahagia. (*)
*) Dosen Pascasarjana Magister Pedagogi Universitas Pancasakti Tegal