Serba Bersama

Senin 26-07-2021,05:00 WIB

Melihat adegan itu –agak telat– perasaan saya campur aduk. Saya pernah menjadi bawahan seperti itu. Tapi, saya belum pernah merasakan suasana seperti itu.

Ups... mungkin pernah.

Ketika menjadi bawahan yang sangat bawah dulu. Di masa muda.

Dipermalukannya pun sebatas sebagai bawahan yang bawah. Sakitnya terbatas.

Tapi, ketika bawahan itu seorang menteri, posisi bawahan tersebut sangat tinggi. Ketika dijatuhkan, sakitnya tentu luar biasa. Akan beda dengan ketika posisinya masih bawahannya bawahan.

Mungkin Pak Menteri menyesal: mengapa mau diangkat menjadi menteri. Yang pengangkatannya dilakukan di tengah pandemi. Bukan sebelum pandemi. Beliau tentu sudah tahu: risiko apa yang harus dihadapi. Seberat apa tanggung jawabnya.

Kini beliau tidak bisa lagi menyesali diri.

Di depannya hanya ada pilihan: mundur atau bertahan.

Saya akan menghargai dua-duanya.

Kalau beliau mundur, memang pahit sekali. Mungkin baru sekali ini ia mengalami kegagalan dalam karier.

Beliau bukan orang yang diambil dari comberan. Beliau adalah berlian di sepanjang hidupnya: kuliah di ITB –prodi nuklir pula, jadi bankir yang sangat menonjol, menjadi CEO salah satu bank terbesar di negeri ini –dengan sukses besar– menjadi penerobos pengambilalihan Freeport –yang sangat bersejarah.

Lalu, masuk ke arena jabatan politik: kalah.

Letnan Jenderal Ali Sadikin juga selalu sukses besar. Jadi dewa. Dipuja. Lalu, masuk arena sepak bola: gagal. Namanya pun jatuh.

Waktu naik ke arena politik, beliau masuk posisi yang salah. Beliau bukan dokter. Tapi, mau menjadi menteri kesehatan.

Saya termasuk yang tidak menilai itu salah. Menjadi menteri adalah menjadi pemimpin –bukan menjadi kepala bagian produksi sebuah pabrik.

Untuk jabatan setinggi itu, yang diutamakan adalah dua ini: kemampuan leadership dan kemampuan manajerial.

Tags :
Kategori :

Terkait