Pimpinan DPRD Kabupaten Tegal menilai data permukiman kumuh atau desa kumuh di Kabupaten Tegal tidak sesuai di lapangan. Karena sebenarnya jumlahnya lebih banyak tapi yang tercatat dalam Surat Keputusan (SK) Bupati Tegal Nomor 050/ 294 Tahun 2019 tentang Penetapan Lokasi Lingkungan dan Permukiman Kumuh di Kabupaten Tegal, hanya 22 desa.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tegal Rustoyo, Jumat (23/4) mengatakan, setiap kecamatan bisa lebih dari 4 desa. Namun yang tercatat cuma 22 desa.
Dari rincian 22 desa yang tercatat dalam SK Bupati Tegal yakni di Kecamatan Slawi; Desa Kalisapu dan Slawi Kulon, di Kecamatan Adiwerna; Desa Harjosari Lor, Harjosari Kidul, Tembok Luwung, Tembok Banjaran, Adiwerna dan Pesarean.
Di Kecamatan Dukuhturi; Desa Pepedan, Karanganyar dan Grogol. Di Kecamatan Talang; Desa Kebasen. Di Kecamatan Lebaksiu; Desa Tegalandong dan Yamansari. Di Kecamatan Kramat; Desa Kemantran. Di Kecamatan Suradadi; Desa Suradadi dan Jatimulya.
Di Kecamatan Tarub; Desa Kesadikan. Di Kecamatan Kedungbanteng; Desa Karangmalang dan Semedo. Di Kecamatan Jatinegara; Desa Kedungwungu. Dan di Kecamatan Warureja; Desa Kreman.
Dari 22 desa itu, dipetakan menjadi ratusan Rukun Warga (RW).
"Jadi, tiap RW terdapat permukiman kumuh yang berbeda-beda. Ini jauh berbeda dengan pengamatan saya di lapangan," katanya.
Data tersebut, tambah Rustoyo, tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Jumlah desa dan RW yang kumuh, jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang ada di SK. Dia mengaku tidak tahu indikator penetapan permukiman kumuh di Kabupaten Tegal seperti apa.
"Indikator yang dipakai apa? Soalnya masih banyak desa dan RW yang kumuh, tapi tidak masuk SK. Daerah
pesisir Pantura Kabupaten Tegal sejak dulu dikenal kumuh. Sumber ekonomi mereka mayoritas dari kekayaan laut. Penduduk di wilayah tersebut juga padat. Namun, yang tercatat sebagai desa kumuh hanya dua di Kecamatan Suradadi. Padahal, bisa lebih dari 5 desa."
"Data desa kumuh dalam SK Bupati Tegal tidak sesuai dengan realita. Karena itu, SK harus segera dicabut," tambahnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tegal lainnya, Rudi Indrayani mengatakan hal senada. SK bupati itu dinilai hanya akan membatasi pembangunan wilayah yang kumuh. Terutama untuk wilayah yang tidak masuk dalam SK tersebut.
Sementara itu, anggaran desa tidak mampu mengcover pembenahan permukiman kumuh. Desa bisa mengajukan anggaran ke pemkab, akan tetapi harus melalui proposal.
"Desa atau RW yang tidak masuk SK dan kondisinya kumuh, akan semakin kumuh karena tidak tersentuh pembangunan," tandasnya. (ADV/guh/ima)