Polri akan membentuk virtual police. Tujuannya untuk memberikan edukasi menggunakan pasal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo memerintahkan agar jajaran Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri segera membentuk virtual police. Menurutnya pembentukan virtual police guna meminimalisasi penggunaan UU ITE dalam kasus siber.
"Virtual police ini akan lebih mengedepankan edukasi kepada masyarakat soal penggunaan ruang siber," ujarnya, Rabu (17/2).
Dia menilai, imbauan terkait Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 atau UU ITE sangat diperlukan sebelum penindakan hukum. "Begitu ada kalimat kurang pas, langgar UU ITE maka virtual police yang tegur dan menjelaskan bahwa Anda berpotensi melanggar pasal sekian dengan ancaman hukuman sekian," jelasnya.
Untuk membentuk virtual police, Kapolri meminta agar jajaran Siber Bareskrim berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. "Tolong ini kerja sama dengan Menkominfo jadi setiap ada konten seperti itu virtual police muncul sebelum cyber police yang turun," ujar mantan Kabareskrim Polri itu.
Diterangkannya, dalam bekerja, virtual police dapat menggandeng influencer agar lebih efektif melakukan sosialiasi dan edukasi kepada masyarakat. Tujuannya agar tercipta penggunaan ruang siber yang sehat.
"Kami berharap masyarakat sadar dan memahami begini boleh, begini enggak boleh. Tolong laksanakan," kata Sigit.
Sebelumnya, Kapolri mendapat arahan dari Presiden Joko Widodo mengenai penegakan hukum menggunakan UU ITE. Hal itu lantaran UU ITE memunculkan stigma pasal karet, celah melakukan kriminalisasi, hingga tindakan saling lapor.
"Oleh karena itu, penting kemudian dari Siber Bareskrim untuk segera buat virtual police," katanya.
Di sisi lain, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mendukung upaya lembaga yudikatif dan kementerian atau lembaga terkait menafsirkan beberapa pasal di UU ITE.
"Kominfo mendukung Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan dan kementerian atau lembaga terkait dalam membuat pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE agar lebih jelas dalam penafsiran," katanya.
UU ITE merupakan perubahan untuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. UU tersebut membawa semangat untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika dan produktif.
"Pemerintah akan secara lebih selektif menyikapi dan menerima pelaporan pelanggaran UU ITE dan pasal-pasal yang bisa menimbulkan multitafsir diterjemahkan secara hati-hati," ujarnya.
Dijelaskannya, pemerintah memahami ada beberapa pasal di UU ITE yang masih dianggap sebagai "pasal karet". Namun, pasal tersebut sudah melewati uji materiil di Mahkamah Konstitusi sehingga sudah konstitusional.
"Perlu dicatat bahwa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, yang kerap kali dianggap sebagai 'Pasal Karet', telah beberapa kali diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) serta selalu dinyatakan konstitusional," kata Johnny.