Undang-Undang yang mengatur tentang Pemilu perlu dibahas secara komprehensif. Saat ini, pembahasan yang telah sampai di Badan Legislasi (Baleg) masih dalam tahap penyempurnaan.
Anggota Baleg DPR RI Guspardi Gaus mengatakan ada sejumlah isu krusial. Saat ini, draf revisi UU Nomor 7 Tahun2017 masih prematur dan perlu dimatangkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Baleg DPR sebagai badan yang bertugas mengharmonisasi dan mensinkronisasi sebuah rancangan undang-undang. Baleg telah meminta draf revisi UU Pemilu agar disempurnakan oleh Komisi II agar bisa segera dibahas.
Isu krusial yang dimaksud antara lain terkait sistem pemilu apakah terbuka, tertutup, atau campuran. Selanjutnya, mengenai ambang batas parlemen dan presiden. Ada juga sistem konversi penghitungan suara ke kursi.
“Lalu ada mengenai keserentakan pemilu. Mengenai digitalisasi pemilu, dan ada juga mengenai upaya menghilangkan 'moral hazard' pemilu," ujarnya, Sabtu (26/12).
Menurutnya, isu yang beredar di luar, sesungguhnya masih terlalu prematur jika berkaca pada proses yang berlangsung di Senayan. Misalnya saja persoalan penundaan Pilkada 2022 ke 2023. Kemudin puncak Pilkada berikutnya di 2026-2027 pasca Pilpres 2024.
"Yang pasti, ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang keserentakan pemilu yang tentunya diperhatikan oleh Komisi II DPR RI," katanya.
Menurutnya, pihaknya saat ini lebih mendorong agar pemilu tidak menimbulkan perpecahan atau pembelahan yang tajam. Hal ini supaya bisa mencegah 'head to head' dalam konteks Pilpres.
Kemudian, membuka ruang pencalonan partai di Pileg dengan lebih besar agar keterwakilan rakyat di DPR bisa dijaga dan menjadikan parlemen lebih representatif.
Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mendukung revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu agar bisa memperkuat penggunaan sanksi administratif dalam perkara pemilu dibandingkan penggunaan sanksi pidana.
"Saya kira harus ditinjau ulang, sebenarnya lebih bagus tidak terlalu banyak pidana, lebih ke sanksi administratif tetapi sanksinya tegas, yaitu diskualifikasi," kata Ketua Bawaslu RI Abhan.
Bawaslu menilai penguatan sanksi administratif akan lebih efektif untuk menangani perkara pemilu, hal itu karena penggunaan pasal pidana dianggap sebaliknya, tidak efektif maupun aplikatif.
Misalnya mahar politik dan sebagainya ini perlu dipertegas rumusannya, agar nanti diberikan kewenangan Bawaslu untuk menilai dan memberikan sanksi administratif, karena kalau pidana prosesnya panjang ke penyidik polisi dan jaksa penuntut umum," kata dia.
Pasal-pasal yang mengatur sanksi pidana dalam Undang-Undang Pemilu saat ini sebagian besar malah mengancam posisi penyelenggara. (khf/zul)