Terakhir, Ma’ruf Amin meminta MUI terus mengawal pengembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia.
“Itu merupakan basis dan tumpuan kehidupan ekonomi sebagian besar umat dan telah menjadi bagian integral dari struktur perekonomian nasional, yang sekarang sudah menjadi kebijakan Pemerintah,” katanya.
Menanggapi kepengurusan MUI yang baru, Menteri Agama Fachrul Razi mengajak pengurus baru MUI meningkatkan pemahaman dan pengamalan umat terhadap Islam Wasathiyah dan memperkuat moderasi beragama.
Dikatakannya, Kementerian Agama selaku leading sector akan bersinergi dengan MUI dan ormas serta lembaga keagamaan lainnya dalam program penguatan moderasi beragama.
"Kerukunan modal utama pembangunan. Kemenag akan bersinergi dengan MUI dan ormas keagamaan lainnya dalam merawat kerukunan dan menguatkan moderasi beragama di Indonesia," katanya.
Sebab menurutnya, moderasi beragama adalah kunci terciptanya kerukunan. "Moderasi beragama kunci terciptanya toleransi dan kerukunan. Ini ditandai dengan sikap cinta Tanah Air, toleransi tinggi, antikekerasan, serta akomodatif terhadap budaya lokal," ucapnya.
Dalam kepengurusan MUI baru, sejumlah nama yang kritis terhadap pemerintah terdepak. Mereka adalah Ketua Dewan Pertimbangan MUI 2015-2020, Din Syamsuddin, serta orang-orang yang terkenal lekat dengan aksi 212 dan Habib Rizieq Shihab seperti Bachtiar Nasir, Yusuf Martak, dan Tengku Zulkarnain.
Menyikapi hal tersebut, Wasekjen PA 212 Novel Bamukmin menyesalkan tergusurnya ulama-ulama yang kritis terhadap pemerintah. Seharusnya seorang ulama memang menjadi oposisi dari setiap jalannya pemerintahan.
"Tentunya kami prihatin atas tidak masuknya beberapa nama ulama yang sudah identik sebagai ulama yang istiqomah, yang mengkritisi penguasa. Padahal sejatinya ulama memang seperti itu sebagai oposisi," katanya.
Novel mengaku khawatir kepengurusan MUI pimpinan KH Miftachul Akhyar diisi oleh para ulama yang mendukung pemerintah. Sehingga nantinya akan menjadi kemunduran MUI, sebab fatwa-fatwa yang dikeluarkan bisa diduga sebagai fatwa pesanan.
"Dan yang saya khawatirkan justru ulama yang masuk malah ulama suu' (orang yang berilmu buruk) ulama penjilat kekuasaan yang fatwanya berdasarkan pesanan penguasa bahkan cukong dan itu jelas kemunduran frontal buat MUI," kata dia.
"Dan menjadi tempat seburuk-buruknya ulama kalau sudah begitu negara ini akan runtuh terjajah oleh kebatilan dan kedzoliman," ujar Novel.
Sementara Tengku Zulkarnain yang tak lagi menjadi pengurus MUI, mengatakan hal yang biasa. Sebab harus ada regenerasi dalam organisasi.
"Kan harus ada regenerasi. Kalau saya merasa cukuplah, 10 tahun jadi wasekjen sudah cukup lama. Jadi saya pikir cukuplah, apalagi saya kan tidak dari organisasi besar awalnya, seperti MUI dan Muhammadiyah," katanya.
Dikatakannya, kini dirinya bisa lebih fokus pada kegiatan lain, seperti berdakwah hingga mengurus pesantrennya.
"Saya bisa konsentrasi ke yang lainlah, ngurus pesantren saya dan lain-lain. Terus dakwah lagi dengan jemaah tablig, bisa keliling dunia. Ini kan suatu kegembiraan besar juga bagi saya," akunya.