Angka bunuh diri di Makassar cukup mengejutkan. Dalam satu bulan terakhir ini ada tiga peristiwa bunuh diri, satu di antaranya berhasil diselamatkan.
Kejadian pertama terjadi pada Kamis 5 November lalu. Haryanto (47) warga di Inspeksi Pam Ulu Balaang, Kelurahan Antang, Kecamatan Manggala, ditemukan tewas tergantung di di bagian dapur rumahnya, tepat di depan toilet menggunakan tali nilon, sekitar pukul 12.15 Wita oleh istrinya Aryanti.
Dia diduga melakukan aksinya karena depresi berat dan menderita sakit yang tak kunjung sembuh.
Kejadian kedua terjadi pada 16 November lalu 2020 pukul 11.45 Wita di belakang Cirkle K Keberangkatan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Sandi Satriyo melakukan percobaan bunuh diri dengan cara menggorok lehernya menggunakan pecahan botol.
Dia melakukan aksi nekat tersebut karena tidak memiliki uang untuk membeli tiket dan depresi. Alhamdullillah dia berhasil diselamatkan.
Kejadian terbaru terjadi pada Minggu 22 November. Sangkala (53), warga Jalan Mongisidi Baru, Kecamatan Rappocini ini nekat gantung diri saat anak dan istrinya sedang keluar rumah untuk melayat keluarga meninggal dunia.
Kasubbag Humas Polrestabes Makassar, Kompol Edhy Supriadi mengatakan ketiga aksi bunuh diri tersebut benar terjadi. Dia mengatakan kebanyakan penyebabnya adalah frustasi.
"Biasanya karena frustasi. Tapi yang terbaru ini belum diketahui apa yang melatar belakanginya," kata Edhy, Senin 23 November
Sosiolog Unhas, M Ramli AT mengatakan fenomena bunuh diri itu penyebab berfariasi, tergantung kasusnya. Tapi memang banyak kasus bunuh diri disebabkan oleh terutama adanya kelainan jiwa dan akibat penyakit yang diderita.
Jika penyebabnya karena penyakit, jadi kemungkinan besar ada frustrasi menghadapi penyakinya. Ada ketakmampuan terus bertahan dan beradaptasi dengan penyakit yang dialami, sehingga mengambil keputusan mengakhiri hidup.
Semua pihak harus menelaah lebih jauh mengapa seseorang mengakhiri hidup jika menghadapi penyakit. Penyakit yang dialami seseorang, terutama jika tergolong penyakiy berat dan telah berlangsung lama, setidaknya bisa menyebabkan orang merasa menderita dalam jangka waktu yang lama.
Terjebak dalam kondisi ketidakpastian dan bayangan serba suram akan masa depan. Belum lagi jika penyakit tersebut dialami oleh kelompok-kelompok rentan yang tidak memiliki kemampuan finansial yang berkelanjutan untuk membiayai pengobatannya.
"Bagi mereka yang berkeluarga atau memiliki tanggungan, penyakit berkepanjangan bisa dipandang sebagai beban juga bagi keluarga. Akumulasi dari berbagai dampak sosio-ekonomi tersebut akan memberi tekanan yang berat pada individu untuk bisa mengambi keputusan bunuh diri," kata Ramli.
Ramli juga menuturkan peningkatan bunuh diri bisa dilihat sebagai sinyal adanya persoalan ekonomi yang sangat berat dialami individu dalam masyarakat. Disaaat yang sama tidak terdapat sistem yang bisa mendampingi mereka menghadapi masa-masa berat seperti itu.
Di masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, boleh jadi tingkat kebahagiaan masyarakat akan menurun, dan mempengaruhi angka bunuh diri, sekali pun ini tentu butuh riset lebih lanjut. Dia menyarankan perlunya dibangun pendampingan pada kelompok-kelompok yang rentan melakukan bunuh diri.