Kawasan kumuh di Makassar mesti segera ditata. Pasalnya penyebaran tuberculosis atau penyakit menular paru-paru mengkhawatirkan.
Data dari Dinas Kesehatan Kota Makassar ke Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia (FKM UMI), menunjukkan pada 2019, tuberculosis di Makassar capai 4.300 kasus.
Berdasarkan sebaran data kasus di Puskesmas, urutan tertinggi penderita tuberculosis ada di Puskesmas Kaluku Bodoa dengan jumlah 470 kasus dan 190 di antaranya mengidap tuberculosis. Puskesmas Kaluku Bodoa salah satu puskesmas yang berada di Kecamatan Tallo.
Berdasarkan hasil riset Dosen FKM UMI, Dr A Rizki Amelia ditemukan bahwa kondisi tersebut dipengaruhi oleh interaksi sosial, ekonomi, dan budaya. "Terkhusus di pemukiman kumuh kota Makassar," ujarnya, kemarin.
A Rizki mengungkapkan, terkhusus untuk kondisi lingkungan sangat dipengaruhi dari padat hunian dan kumuh. Bahkan sangat banyak di antara mereka yang sama skali tidak mendapatkan pencahayaan alami dari matahari.
Pencahayaan hanya berfokus pada cahaya buatan seperti lampu. "Tanpa mereka sadari bahwa dari kondisi pencahayaan dapat jadi penyebab berkembangnya tuberkulosis taru," bebernya.
Jika pencahayaan alami baik banyak jenis bakteri yang dapat dimatikan. Demikian juga dengan kuman Tuberkulosis dapat mati karena cahaya sinar ultravioelet dari sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan.
Terutama cahaya matahari pagi karena mengandung sinar ultraviolet yang dapat membunuh kuman TB. Sehingga tidak ada kesempatan terjadinya infeksi kuman TB terjadap penghuni rumah tersebut.
Transmisi penularan TB paru di ruangan sangat berisiko. Hal itu karena dimana droplet nuclei dapat tinggal di udara dalam waktu yang lama. "Makanya perhatian di kawasan kumuh sangat perlu," tegasnya.
Untuk di daerah Tallo, menjadi kawasan kumuh terbesar dengan luas mencapai 91 hektare dari total seluruh 521 hektare luasan kawasan kumuh di Makassar.
Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kota Makassar, Fathur Rahim, mengatakan, ada tiga kelurahan yang kini jadi pusat kawasan kumuh di wilayah Tallo. Masing-masing Kelurahan Tallo (37,82 hektare), Kelurahan Kaluku Bodoa (19,22 hektare), dan Kelurahan Buloa (1,9 hektare).
"Memang daerah kumuh di Kecamatan Tallo itu terbesar di Makassar," katanya.
Persoalan berikutnya, yakni dari pertambahan luasan tersebut, banyak rumah yang berdiri dengan status legalitas lahan yang tidak jelas.
Masalah di kawasan kumuh, kata Fathur kini tak lagi bisa dengan hanya mengandalkan bantuan CSR. Sudah harus masuk dalam prioritas pemerintah. "Perlu ada kebijakan yang lebih efektif, salah satunya menentukan lingkungan yang layak untuk diberi insentif dan disinsentif," harapnya. (sal/rdi/zul)