"Soal pelatihan vaksin saya minta WHO dilibatkan. WHO Indonesia agar mereka memberikan training-training sehingga standarnya menjadi jelas. Hati-hati mengenai vaksin, bukan barang gampang ini, setelah saya pelajari semakin hari, saya yakin tidak mudah," terangnya.
Sementara pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah meminta agar pemerintah membuat regulasi yang jelas terkait program vaksinasi COVID-19, baik yang gratis maupun berbayar.
Menurutnya, seharusnya vaksinasi COVID-19 dapat diberikan secara gratis. Namun karena anggaran, akhirnya ada skema mandiri atau bayar sendiri.
"Intinya negara itu jangan sampai 'berbisnis'. Menurut saya, ya semuanya harusnya gratis enggak ada alasan dipilah-pilah seperti itu, tapi dengan asumsi sangat berat di anggaran jadi ada skema mandiri. Nanti upaya tegas ini harus diatur dalam sebuah regulasi yang komprehensif supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman di publik," jelasnya.
Ditegaskannya, harus ada regulasi atau pengaturan mengenai vaksin mandiri. Misal, siapa saja yang harusnya masuk dalam kategori tersebut. Kriteria tersebut penting agar tak menimbulkan kecemburuan sosial.
"Kriteria itu harus diatur bagaimana yang mandiri ini atau seperti apa, makanya harus tegas nanti harus ada aturan yang mengaturnya supaya enggak ada kecemburuan sosial," ujarnya.
Tak kalah penting ialah bagaimana nanti implementasi dari program tersebut. Penerapan program vaksinasi akan menjadi tantangan nantinya. "Harus ada sanksi pula bagi pelaksana yang nanti ketahuan menarik tarif vaksin hingga menunda-nunda vaksinasi," katanya.
Pemerintah juga harus bisa melakukan komunikasi, informasi dan edukasi yang intensif perihal vaksin. Hal itu untuk menjawab adanya beberapa masyarakat yang menolak ikut dalam program vaksinasi.
"Kejelasan akan kualitas vaksin tersebut mulai dari harga hingga kehalalannya juga sangat penting," ungkapnya.
Di sisi lain, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Bambang Soemantri Brodjonegoro mengatakan dibutuhkan 360 juta dosis untuk 180 juta penduduk di seluruh penduduk Indonesia dalam menciptakan kekebalan populasi (herd immunity) terhadap COVID-19.
"Kalau menggunakan rumus herd immunity itu dua pertiga penduduk harus divaksin alias 180 juta karena satu orang butuh dua kali vaksin maka dibutuhkan minimal 360 juta dosis," katanya.
Jika seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 270 juta jiwa divaksin, maka diperlukan 540 juta dosis vaksin.
Untuk memenuhi kebutuhan vaksin, menurutnya, harus ada kapasitas produksi antara 360 juta sampai 540 juta dosis. Kapasitas ini barangkali tidak bisa dipenuhi oleh PT Bio Farma sendirian. Sebab kapasitas PT Bio Farma hanya mampu memproduksi 250 juta dosis vaksin per tahun.
Karenanya, Kemenristek menggandeng dan bernegosiasi dengan beberapa perusahaan swasta yang bersedia untuk berinvestasi dalam pengembangan dari vaksin COVID-19. Perusahaan swasta tersebut antara lain PT Kalbe Farma, PT Sanbe Farma, PT Daewoong Pharmaceutical Company Indonesia, PT Biotis dan Tempo Scan.
"Beberapa dari mereka sudah berinvestasi dan sudah mengurus izin ke BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), sebagian lagi sedang mempersiapkan rencana investasi dan izin tersebut," ujarnya.
Selain mengembangkan vaksin secara mandiri, penyediaan vaksin untuk masyarakat Indonesia juga dilakukan melalui upaya kerja sama dengan pihak luar negeri.