Negara Harus Bayar Rp24 Triliun ke Cina untuk Kelanjutan Pengadaan Vaksin Covid-19

Minggu 04-10-2020,10:30 WIB

Pemerintah diminta segera menyiapkan anggaran kebutuhan vaksin Covid 19. PT. Bio Farma harus segera membayar Rp24 triliun kepada perusahaan Sinovac asal Cina sebagai bentuk kelanjutan kerjasama pengadaan vaksin di Indonesia.

Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani meminta Pemerintah segera menyiapkan anggaran tersebut mengingat mendesaknya kebutuhan vaksin Covid-19 di Indonesia.

“Pemerintah harus menyelesaikan pembayaran agar proses vaksinasi dapat segera dilakukan. Ini untuk jaminan keselamatan rakyat, jadi harus diprioritaskan,” kata Netty.

Netty juga mendesak pemerintah agar segera menyusun dan mengesahkan Perpres vaksinasi agar proses vaksinasi dapat segera diimplementasikan.

“Lahirnya perpres vaksin sangat mendesak, agar proses vaksinasi dapat segera dilakukan terhadap 170 juta rakyat Indonesia. Apalagi presiden sudah memberikan instruksi bahwa perpres harus sudah selesai dalam waktu dua minggu terhitung sejak Senin yang lalu,” ujar Netty dalam keterangan tertulis, Sabtu (3/9).

Netty juga meminta Bio Farma bekerjasama dengan perusahaan lain guna memenuhi kebutuhan vaksin. Menurut standar WHO, setidaknya 70 persen penduduk atau sekitar 170 juta orang Indonesia harus divaksin sebanyak dua kali penyuntikan.

“Kapasitas Bio Farma hanya sanggup produksi 250 juta per tahun, jadi harus berkolaborasi dengan perusahaan lain guna memenuhi kebutuhan vaksin di tanah air,” ujarnya.

Menjawab pertanyaan publik mengapa harus vaksin Sinovac asal Cina, menurut Direktur Operasional PT Bio Farma, pilihan ini disebabkan karena teknologi Sinovac familiar dengan Bio Farma, Sinovac bersedia untuk transfer teknologi dan vaksin Sinovac sudah memenuhi standar WHO.

Untuk menguatkan ketahanan kesehatan nasional, legislator asal Jawa Barat ini meminta pemerintah memiliki kemandirian dalam tata kelola obat dan vaksin agar tidak selamanya bergantung pada negara lain.

Sebelumnya, Plt. Dirjen Pelayanan Kesehatan Prof. Abdul Kadir menegaskan, bahwa penetapan batas tertinggi biaya pengambilan swab dan pemeriksaan RT-PCR merupakan jawaban pemerintah atas disparitas harga pemeriksaan swab di fasilitas pelayanan kesehatan.

Penentuan batasan tarif ini mempertimbangkan kepentingan masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan sebagai penyelenggara. “Persoalan kita adalah adanya disparitas harga, adanya harga yang tidak seragam terkait dengan harga pemeriksaan yang ada. Untuk itulah penetapan batas tertinggi biaya pengambilan swab dan pemeriksaan RT-PCR mandiri,” tegasnya.

Penetapan biaya pengambilan swab dan pemeriksaan RT-PCR melalui pembahasan bersama antara Kementerian Kesehatan dengan BPKP berdasarkan hasil survey dan analisa pada fasilitas pelayanan kesehatan.

Untuk itu tim BPKP dan tim Kementerian Kesehatan menyetujui batas tertinggi biaya pengambilan swab dan pemeriksaan RT-PCR mandiri yang bisa dipertanggungjawabkan untuk ditetapkan di masyarakat yaitu sebesar Rp900 ribu.

Adapun batasan tarif ini akan berlaku setelah diterbitkan Surat Edaran Menteri Kesehatan setelah sosialisasi hari ini antara BPKP dan Kemenkes.

“Tarif diberlakukan setelah diterbitkannya surat edaran Menteri Kesehatan,” tambahnya. Sebagai acuan, komponen biaya terdiri atas jasa layanan SDM yang terdiri atas Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik/Patologi Klinik, Tenaga ekstraksi, tenaga pengambilan sampel dan bahan habis pakai.

Tags :
Kategori :

Terkait