Keempat, semakin mempersulit proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu maupun proses pembaruan hukum yang berkaitan dengan isu penghilangan paksa seperti proses ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
"Kami juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk mendorong Jaksa Agung untuk menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM dan menuntut para terduga pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui pengadilan HAM ad hoc," tutup Fatia.
Selain KontraS, sejumlah lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan turut mengecam pengangkatan dua mantan anggota tim mawar sebagai pejabat Kemenhan tersebut. Koalisi menyebut pengangkatan itu sebagai wujud ingkar janji Jokowi dalam penuntasan pelanggaran HAM berat 1997-1998.
Kepala Advokasi LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora selaku perwakilan koalisi menyebutkan, keputusan itu seharusnya dibatalkan Jokowi jika serius berkomitmen menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu.
Jokowi selaku presiden, kata dia, tidak boleh memberikan ruang bagi siapapun yang memiliki rekam jejak di masa lalu sebagai pelanggar HAM berat untuk menempati jabatan publik.
"Hal ini juga justru semakin menegaskan bahwa Presiden Jokowi tidak memiliki komitmen dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat, malah menambah dan memperpanjang penderitaan keluarga korban," kata Nelson.
Padahal, semasa kampanye pada 2014 dan 2019 lalu, Nelson mengatakan, Jokowi telah berjanji menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat apabila terpilih sebagai presiden. Namun, menurutnya, hingga kini hal itu hanya sebatas janji politik tanpa ada realisasi.
"Selain itu juga penting untuk melihat penggantian warga sipil menjadi tentara sebagai pejabat di Kementerian Pertahanan. Padahal sejak reformasi beberapa pos di Kementerian Pertahanan lazim diisi oleh pejabat sipil. Penggantian ini semakin menguatkan tren militerisasi di masyarakat setelah sebelumnya Kemenhan menggulirkan rencana membentuk komponen cadangan yang sangat bermasalah," ucap Nelson.
Atas hal itu, LBH Jakarta, Public Virtue Institute, Imparsial, SETARA Institute, Pil-Net, ELSAM, PBHI, Amnesty Internasional, LBH pers, dan ICW yang tergabung dalam koalisi menuntut Jokowi untuk mengevaluasi menteri pertahanan yang membuat beberapa kebijakan kontraproduktif dalam pemajuan HAM dan proses reformasi sektor keamanan serta dugaan keterlibatannya dalam kasus penghilangan orang.
Koalisi juga menuntut Jokowi untuk mencopot seluruh yang tergabung dalam Tim Mawar dan terbukti terlibat dalam tindakan penghilangan paksa 1997-1998 dari jabatan publik. Serta menuntaskan seluruh kasus pelanggaran HAM di masa lalu demi memberikan keadilan bagi keluarga korban dan sebagai bentuk komitmen negara agar peristiwa serupa tidak terulang kembali.
"Mendesak Presiden dan DPR untuk mereformasi peradilan militer dengan cara mengganti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, mendesak Mahkamah Agung untuk mempublikasikan seluruh putusan terkait penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998, serta menolak militerisasi pejabat teras di Kementerian Pertahanan," tutup Nelson.
Sebelumnya diketahui ada rotasi pejabat di lingkungan Kemhan berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 166/TPA Tahun 2020 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Dari dan Dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Kementerian Pertahanan. Keppres itu diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 23 September 2020.
Juru Bicara Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak, menyebut pergantian pejabat tersebut guna penyegaran organisasi.
"Pergantian tersebut hal biasa, dalam rangka penyegaran organisasi Kemhan dan Tour of Duty," kata Dahnil, Jumat (25/9). (riz/gw/zul/fin)