Praktik mahar politik dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada yang mahal dan melibatkan cukong terus mendapat sorotan.
Hal tersebut terjadi lantaran calon kepala daerah memiliki dana yang pas-pasan untuk maju di pesta demokrasi lima tahunan di daerah itu.
Demikian disampaikan Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago, Jumat (18/9).
Sehingga, terjadi persengkongkolan antara para pemilik modal atau para cukong dengan peserta pilkada untuk mendanai dana kampanye dengan perjanjian proyek.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting dikutip dari PojokSatu.id, menjelaskan, hal itu merusak kehidupan berdemokrasi kita.
"Yang merusak kualitas demokrasi kita adalah duit pas-pasan maju menjadi calon kepala daerah. Lalu cari sponsor atau cukong, lalu bicara belum balik modal,” ujarnya.
Kondisi ini yang memicu banyaknya kepala daerah berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Setelah hampir empat tahun menjabat kepala daerah dengan gaji Rp10 jt, akhirnya stres, modal kampanye belum balik, sehingga pada akhirnya berfikir jalan pendek dan singkat untuk melakukan korupsi,” sambungnya. (pojoksatu/ima)