Dia menyebut ada lima solusi untuk mempertemukan titik keseimbangan demokrasi dan keselamatan warga negara selama pandemi COVID-19. Pertama adalah penyadaran. Semua pihak terutama Pemerintah dan penyelenggara secara masif dan maksimal menyadarkan masyarakat tentang bahayanya COVID-19.
"Kedua, ketersediaan anggaran. Ini penting untuk mencapai efektivitas dan efisiensi kinerja penyelenggara. Anggaran Pilkada 2020 harus segera terpenuhi semua. Terlebih jika semangat alokasinya menuju pada penyelamatan nyawa warga negara," tegasnya.
Yang ketiga, peralatan dan pemenuhan kebutuhan Alat Perlindungan Diri (APD) selama Pilkada 2020 harus berbasis pemilih dan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Keempat adalah penegakan hukum. Semua pihak perlu bersikap tegas tanpa kompromi jika terjadi pelanggaran protokol kesehatan.
Misalnya, Pasal 11 PKPU Nomor 6 Tahun 2020 menegaskan setiap pelanggar protokol pencegahan dan pengendalian COVID-19 dapat ditegur ataupun dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Artinya apabila paslon, Penyelenggara, Pemilih, dan warga tidak menghiraukan protokol kesehatan, Indonesia tidak kekurangan mekanisme sanksi yang bisa diberlakukan. Indonesia memiliki UU Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan," tuturnya.
Sedangkan yang kelima adalah Force Majeure. Dimana konstruksi UU Nomor 10 Tahun 2016 memberi ruang adanya pemilihan lanjutan dan pemilihan susulan.
"Jika di suatu daerah benar-benar berstatus risiko tinggi secara cepat dan meluas, maka opsi penundaan lokal patut dipertimbangkan. Intinya, Pilkada 2020 penting untuk dilaksanakan dan tidak perlu ditunda lagi. Bukan karena abai terhadap kesehatan. Namun, karena ada aspek kepastian hukum dan pemerintahan yang harus dipenuhi," terangnya. (rh/zul/fin)