Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengklaim lima atau enam negara Arab lainnya akan segera menormalisasi hubungan dengan Israel.
"Kita sejauh ini sudah berjalan dengan sekitar lima negara, lima negara tambahan," ungkap Trump dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP, Rabu (16/9) kemarin.
Klaim itu disampaikan Trump saat menjamu Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, di Ruang Oval Gedung Putih, sebelum seremoni penandatanganan perjanjian damai antara Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain, Selasa (15/9) waktu setempat.
"Kita akan mendapati sedikitnya lima atau enam negara yang bergabung dengan sangat cepat, kita sudah berbicara dengan mereka," imbuhnya.
Trump tidak menyebut lebih lanjut nama negara-negara tambahan tersebut. Namun, Ia hanya mengisyaratkan saat pembicaraan bilateral dengan Menteri Luar Negeri UEA, Abdullah bin Zayed Al-Nahyan, bahwa Saudi mungkin ikut serta tanpa menyebutnya secara spesifik.
"Kita telah melakukan pembicaraan yang hebat dengan Arab Saudi. Saya pikir pikiran mereka sangat terbuka," ujarnya.
"Saya berharap Saudi untuk menormalisasi hubungan dengan Israel pada 'waktu yang tepat'," sambungnya.
Untuk kawasan Timur Tengah, perjanjian damai yang disebut 'Abraham Accord' ini menandai perubahan berbeda dalam status quo yang berusia puluhan tahun di mana negara-negara Arab berupaya menjaga persatuan dalam melawan Israel atas perlakuannya terhadap warga Palestina.
Sejauh ini, sudah ada empat negara Arab yang menormalisasi hubungan dengan Israel, yakni Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab dan Bahrain.
Sementara Qatar mengaku belum akan bergabung dengan negara-negara Teluk lainnya dalam menormalisasi hubungan dengan Israel. Qatar ingin isu Palestina diselesaikan terlebih dahulu sebelum adanya perjanjian normalisasi.
"Kami tidak merasa normalisasi adalah inti dari konflik (Timur Tengah), sehingga hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai jawaban," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Lolowah Alkhater, dikutip dari laman Yeni Safak.
"Inti dari konflik ini adalah kondisi buruk kehidupan masyarakat Palestina, yang hidup tanpa negara dan berada di bawah pendudukan (Israel)," sambungnya.
Perjanjian normalisasi Israe-UEA-Bahrain memicu kecaman keras dari Palestina. Presiden Otoritas Palestina (PA) Mahmoud Abbas menegaskan, perdamaian di Timur Tengah tidak akan pernah terwujud selama Israel masih menduduki Palestina.
Palestina menilai normalisasi hanya mempersulit upaya mereka dalam mencapai kemerdekaan dan mendirikan negara berdaulat dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Namun UEA dan Bahrain justru berkukuh bahwa normalisasi ini dilakukan tanpa mengesampingkan perjuangan Palestina. (der/zul/fin)