Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz al-Saud menegaskan kepada Presiden Amerika Serikat, Donald Trump melalui sambungan telepon, bahwa tidak ada pembicaraan tentang normalisasi hubungan dengan Israel sebelum kemerdekaan bagi Palestina terealisasi.
Seperti dikutip dari Reuters, Senin (7/9), Raja Salman menegaskan, Arab Saudi ingin mencapai solusi yang adil dan permanen terkait masalah Palestina.
Menurut Raja Salman, hal itu adalah titik awal dari Prakarsa Perdamaian Arab yang diusulkan Kerajaan Arab Saudi. Inisiatif Perdamaian Arab dibuat oleh Arab Saudi pada 2002.
Dalam kesepakatan itu negara-negara Arab menawarkan normalisasi hubungan dengan Israel, hanya jika Palestina merdeka dan Israel menarik seluruh pasukannya dari wilayah yang direbut pada perang 1967.
Dalam percakapan dengan Trump, Raja Salman menghargai upaya AS mendukung perdamaian, namun Arab Saudi ingin melihat solusi yang adil dan permanen untuk masalah Palestina berdasarkan Inisiatif Perdamaian Arab Tahun 2002.
Selain membahas soal Palestina-Israel, Raja Salman dan Trump diketahui membahas soal negara-negara Kelompok Dua Puluh (G20) yang diketuai oleh Arab Saudi tahun ini.
Salah satu bahasannya adalah upaya yang dilakukan dalam pertemuan dengan para perwakilan negara untuk melindungi kehidupan dan mata pencaharian untuk mengurangi efek pandemi Covid-19.
"Menegaskan bahwa kepresidenan Kerajaan G20 akan terus mendukung dan mengoordinasikan upaya kelompok itu untuk menghadapi dampak epidemi pada tingkat manusia dan ekonomi," ucapnya.
Sementara itu penasihat Gedung Putih yang juga menantu Trump, Jared Kushner, berharap negara Arab lain mengikuti jejak UEA menormalisasi hubungan dengan Israel.
Namun, sejauh ini tidak ada negara Arab lain setuju atau sekadar mempertimbangkan akan memperbaiki hubungan dengan negara Yahudi.
Bahrain dan Qatar yang sempat dikunjungi oleh Kushner menyatakan, tetap berprinsip meminta kemerdekaan Palestina sebelum melakukan normalisasi hubungan dengan Israel.
Palestina mengecam UEA karena menormalisasi hubungan dengan Israel. Baik faksi Fatah yang menguasai pemerintahan yang dipimpin Presiden Mahmoud Abbas maupun Hamas menyebut langkah UEA sebagai pengkhianatan dan menusuk dari belakang. (der/zul/fin)