Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memperkirakan akibat adanya pandemi Covid-19 yang berkepanjangan sehingga diperkirakan target Cukai Hasil Tembakau (CHT) senilai Rp170 triliun tidak akan tercapai hingga akhir tahun 2020.
Tak hanya itu, penghambat lainnya adalah kenaikan cukai yang terbilang cukup tinggi. "Dari laporan Bea Cukai target Rp170 triliun tidak akan terapai. Ya, bisa saja sama atau mungkin lebih rendah dari tahun 2019. Ini disebabkan kondisi saat ini Covid-19 dan kenaikan cukai yang cukup tinggi," ujar Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar, Supriadi dalam video daring, kemarin (16/8).
Lebih jauh dia menjelaskan, sebetulnya terjadi kenaikan penerimaan CHT pada kuartal I/2020. Kenaikan diduga karena dampak kebijakan kenaikan CHT yang diberlakukan pemerintah mulai Januari 2020. Namun, pada kuartal II/2020, penerimaan CHT langsung turun hingga 10,84 persen.
"Penurunan paling banyak dialami Sigaret Kretek Tangan (SKT)," ucapnya.
Padahal, kata dia, sejak 2012 hingga 2018, penerimaan CHT dan pajak selalu mengalami pertumbuhan. Kecuali pada 2016 yang penerimaannya sempat minus 2,6 persen.
Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Kebijakan Fiskal, kenaikan CHT hampir selalu berada di atas peningkatan inflasi. Ini menurut dia sebenarnya tidak sesuai keinginan pihaknya. Dia maunya kenaikan CHT bisa mendekati inflasi.
Menurut dia, kenaikan CHT dan tarif yang cukup eksesif akan memberatkan kinerja industri tembakau. Terlebih pada masa pandemi covid-19. Dia menduga, virus corona telah menurunkan konsumsi rokok karena masyarakat banyak yang mengalihkan pengeluaran mereka untuk kebutuhan pokok.
"Penurunan volume juga berpotensi menurunkan serapan bahan baku tembakau dan cengkeh lokal. Sudah terasa sejak akhir 2019. APTI (Asosiasi Petani Tembakau Indonesia) sudah mulai demo karena serapan tembakau lokal berkurang," ungkapnya.
Dikhawatirkan, kondisi ini akan semakin parah mengingat pandemi Covid-19 akan berkepanjangan. Dia mencatat, Industri Hasil Tembakau (IHT) menyerap hingga tujuh juta pekerja dari petani sampai pedagang.
Sedangkan industri menyerap hingga 692 ribu pekerja pada 2014. Angka ini menyusut di tahun 2015 menjadi 692 ribu. Kini serapan tenaga kerja di industri tembakau tersisa sekitar 500 ribu orang.
Terpisah, anggota Komisi XI DPR RI Misbakhun menuding pemerintah telah menghancurkan IHT. Hal ini karena langkah pemerintah dalam menurunkan angka perokok di Indonesia dianggap kurang tepat.
"Kalau hanya berpikir kesehatan saja ya buyar. Apalagi kalau bicara perokok pemula. Yang mau disasar perokok pemula, tapi yang mau dihancurkan industrinya," katanya.
Ia menilai strategi kebijakan fiskal yang bertujuan menurunkan prevalensi perokok muda justru memberatkan beban industri tembakau. Kalau dilanjutkan, hal ini bisa berdampak pada kesejahteraan petani, pekerja dan pedagang.
"Seharusnya kita perbaiki dulu pendapatan masyarakat, pendidikannya, knowledgenya, lingkungan kita perbaiki. Itu yang penting," ujarnya.
Sementara Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas Pungkas Bahjuri Ali menjelaskan, pemerintah mempunyai tiga strategi untuk mengurangi prevalensi perokok anak. Yakni, kebijakan fiskal, kebijakan non fiskal, dan penanggulangan dampak kebijakan terhadap petani dan pekerja di industri tembakau.