Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat angka kekerasan terhadap anak, baik verbal maupun fisik selama pandemi corona (Covid-19) meningkat.
Komisioner KPAI, Retno Listyarti menyebutkan, berdasarkan data KPAI, kekerasan verbal mencapi 62 persen, sementara kekerasan fisik 11 persen. "Kekerasan verbal paling banyak, karena ini pun dari pengakuan anak di media sosialnya," kata Retno di Jakarta, Jumat (24/7)
Retno menambahkan, bahwa kekerasan anak lainnya juga terjadi di lingkungan keluarga selama pandemi. Menurutnya, banyak anak yang menyampaikan kegaulannya tersebut di media sosial.
"Bahkan anak berpotensi kuat bergabung dengan grup medsos yang tidak terkontrol. Hal itu bisa mengakibatkan anak menjadi korban eksploitasi dalam grup di media sosial tersebut," terangnya.
Selain itu, Retno juga mengungkapkan, bahwa ada faktor lain yang memengaruhi kesehatan jiwa anak selama pandemi. Yakni minimnya fasilitas pendukung pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau daring.
"Fasilitas PJJ yang minim membuat anak-anak stres karena tidak terlayani saat pembelajaran daring," ujarnya.
Buntut dari permasalahan tersebut, kata Retno, akan muncul beberapa kasus, seperti anak tidak naik kelas. Hal ini terjadi, siswa terpaksa tidak naik kelas, lantaran tidak pernah hadir saat pembelajaran daring. Padahal hal itu terjadi karena sang anak tidak mempunyai gawai dan akses internet.
"Ini kan namanya kekerasan yang dilakukan sekolah. Kemudian ketidakmampuan anak belajar secara mandiri, apalagi ketika orang tuanya mulai kerja," tegasnya.
Untuk itu mestinya ada pengaturan tanggung jawab antara orang tua (suami istri). Sehingga, orang tua tetap hadir mendampingi anak belajar.
Sebab, kekerasan pada anak di rumah, merupakan bentuk kegagalan orang tua dalam mengekspresikan cintanya. Hal tersebut terjadi lantaran orang tua belum mampu mengelola emosi dengan baik.
"Banyak perilaku kekerasan muncul bukan karena anaknya nakal, tetapi karena kegagalan orang tua mengekspresikan cintanya,” kata Pendiri Keluarga Kita, Najelaa Shihab.
Menurut Najella, buruknya orang tua dalam mengelola emosional, justru akan berujung kepada lingkaran kekerasan. Bahkan, tingkatan kekerasannya bisa semakin meningkat.
"Awalnya dari cubit sedikit sama dihukum berhari-hari, ini karakter emosi yang membuat siapapun mudah terjebak di dalamnya," terangnya.
Najella menyebutkan, kekerasan anak di rumah ini bentuknya beragam. Mulai dari penelantaran, perundungan, hingga kekerasan verbal. Namun terkadang, kekerasan-kekerasan itu pun masih sering dianggap bukan sebuah masalah. Menurutnya, kasus-kasus yang dianggap wajar ini justru awal dari kekerasan-kekerasan yang ekstrem.
"Ini masih sangat ditolerir, atau mungkin tidak dianggap masalah di ekosistem kita. Bahkan, oleh orang dekat dengan lingkungannya sendiri," pungkasnya. (der/zul/fin)