PCR Karantina

PCR Karantina

Oleh: Dahlan Iskan

SAYANG sekali. Suka cita meredanya Covid-19 tenggelam oleh kegundahan terhadap bisnis PCR. Kebijakan karantina juga diserempet-serempet. Pro-kontra terus terjadi.

Saya punya teman pengusaha. Selama pandemi ia tetap harus pergi ke berbagai daerah. Dan luar negeri. Apa pun risikonya.

Umurnya 56 tahun. Kulitnya gelap —meski ibunya Tionghoa kelahiran Tiongkok. Badannya tinggi-besar. Sudah haji dan umrah bukan hanya sekali. Bisnisnya memang terkait dengan logistik udara.

Minggu lalu ia ke Dubai. Hanya dua hari. Lalu balik ke Jakarta. Tentu ia punya pengalaman di seputar PCR dan karantina. Di sana. Dan di sini.

Di tengah bisnis yang lagi merosot, ia termasuk yang terus berkembang. Maka saya pun minta ia bercerita tentang mondar-mandirnya ke luar negeri. Khususnya di tengah suasana serba PCR dan karantina ini. Kita bisa membedakan bagaimana di sana. Dan seperti apa di sini. Inilah ceritanya:

Saya bersyukur bisa mendapatkan partner asing dari Dubai. Sudah lima kali saya minta mereka datang ke Indonesia. Mereka punya bisnis di Indonesia.

Mereka enggan ke Indonesia. Waktunya habis. Saya rayu mereka. Tidak berhasil.

Akhirnya saya mengalah. Berangkatlah saya ke Dubai, dengan perasaan waswas. Bukan khawatir soal Covid tapi waswas terhadap aturan prokes di Bandara Dubai.

Saya sudah pernah terjangkit Covid beberapa bulan lalu. Hanya OTG. Tidak sampai masuk rumah sakit.

Setiba di Bandara Dubai saya langsung digiring ke tempat PCR. Terlihat sangat canggih (sayang saya tidak boleh memotret).

Intinya begitu sampai di tempat PCR, petugas melakukan scan passpor saya. Lalu dilakukan pengambilan cairan dari hidung dan tenggorokan.

Langkah ketiga, saya ditanya: tinggal di mana. Saya sebutkan nama hotel yang tidak jauh dari bandara.

Hanya itu.

Sumber: