Ekonomi Masih Sulit, Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Kelas 3

Ekonomi Masih Sulit, Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Kelas 3

Pemerintah akan menaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kelas 3 mulai Januari 2021 mendatang. Namun, diharapkan keputusan tersebut urung diterapkan mengingat saat ini masih krisis akibat pandemi COVID-19.

Wakil Ketua Komisi IX, Ansori Siregar meminta agar pemerintah membatalkan rencana menaikan iuran BPJS Kesehatan kelas 3. Terlebih saat ini ekonomi masyarakat masih terpuruk akibat pandemi COVID-19.

"Batalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk orang fakir miskin pada 1 Januari 2021," katanya saat rapat paripurna DPR di Gedung Nusantara II, Jumat (11/12).

Kebijakan menaikan iuran bagi kelompok mandiri yaitu pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan penerima bantuan iuran (PBI) akan sangat memberatkan. Sebab mayoritas kelompok ini merupakan orang miskin.

Politisi PKS ini mengatakan hasil rapat kerja Komisi IX DPR pekan lalu juga menyimpulkan agar Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) segera berkoordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait guna mempertimbangkan akselerasi iuran bagi PBPU, dan BP atau masyarakat miskin kelas III.

"Sehingga peserta tetap membayar Rp 25.500. Ini keputusan," katanya.

Dia juga menjelaskan menaikan iuran BPJS Kesehatan kelas tiga mandiri bertentangan dengan Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pada pasal tersebut mengamanatkan negara memelihara fakir miskin dan anak-anak terlantar.

"Dulu saya pernah bilang menteri apa pun, dia tidak bisa melangkahi pasal ini (pasal 34 ayat 1 UUD 45) untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan," kata dia.

Karena itu, dia berharap kepada pimpinan DPR maupun Presiden Joko Widodo dan kementerian/lembaga terkait agar membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk fakir miskin.

"Tolong pimpinan (DPR) berlima, wahai presiden, wahai menteri terkait, batalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas tiga ini," kata Ansory.

Senada diungkapkan politisi PDI Perjuangan Sri Rahayu. Dia menegaskan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 34 Ayat 1 UUD NRI 1945, sebenarnya sudah tercover dalam penerima bantuan iuran (PBI).

"Kalau data itu benar, pasti sudah ter-cover dalam PBI. PBI dianggarkan oleh negara," kata Wakil Ketua Komisi IX DPR ini.

Dijelaskannya, dengan jumlah penduduk 269 juta jiwa, maka di APBN sudah dianggarkan untuk PBI sebanyak 94,6 juta. "Artinya, 35 persen penduduk Indonesia yang di dalamnya fakir miskin, kalau data benar, pasti sudah masuk di dalamnya," ungkapnya.

Terlebih, menurutnya tidak mungkin fakir miskin Indonesia itu jumlahnya mencapai 35 persen dari jumlah penduduk. "Karena di dalam data yang ada hanya di bawah sepuluh persen," lanjutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: