Politisi Golkar Kenaikan Cukai Rokok Harus Ditunda

Politisi Golkar Kenaikan Cukai Rokok Harus Ditunda

Pemerintah berencana menaikan tarif cukai rokok 2021 mendatang antara 13-20 persen. Kenaikan itu dinilai akan berimbas terhadap kelangsungan tenaga kerja perusahaan tembakau atau rokok yang bisa di-PHK alias pemutusan hubungan kerja.

Pernyataan itu diungkapkan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tegal dari Fraksi Golkar, Agus Solichin, Jumat (6/11). Dikatakannya, kondisi ekonomi Indonesia saat ini masih melemah.

Melemahnya ekonomi itu, papar dia, akibat pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung hampir delapan bulan terakhir. Ketua DPD II partai Golkar Kabupaten Tegal itu berharap kenaikan cukai rokok ditunda, karena imbasnya sangat besar bagi karyawan perusahaan rokok.

"Saat ini saja sudah banyak perusahaan yang mem-PHK karyawannya. Jangan sampai kenaikan cukai rokok membuat banyak karyawan di PHK," katanya.

Menurutnya, rencana kenaikan cukai rokok untuk menambah penerimaan kas negara, dinilai sah-sah saja. Namun, menaikan cukai rokok di masa pandemi, dinilai kurang tepat.

Hal itu karena ekonomi Indonesia sedang terpuruk, dan sudah banyak karyawan yang di PHK. Bahkan, tingkat pengangguran di wilayah Kabupaten Tegal juga bisa meningkat.

"Warga yang kerja di perusahaan rokok cukup banyak. Jika cukai dinaikan dan perusahaan rokok terpuruk, maka akan terjadi PHK massal," tegasnya.

Dia mengungkapkan, saat ini, ada sekitar 1.800 orang tenaga kerja yang bekerja di pabrik sigaret kretek tangan (SKT) dan menjadi tumpuan hidup ribuan anggota keluarga lainnya di Kabupaten Tegal. Dikhawatirkan, kenaikan tarif cukai rokok yang terlalu tinggi akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja yang itu berarti kontribusi bagi peningkatan jumlah pengangguran di wilayahnya.

Menurut dia, tingkat pengangguran sebelum terjadi pandemi juga sudah di angka 8,21 persen atau tertinggi di Jawa Tengah. Upaya menekan angka pengangguran adalah meningkatkan serapan tenaga kerja dengan membuka investasi industri padat karya dan menjaga kelangsungan kerja penduduk.

“Di saat daya beli masyarakat menurun akibat pembatasan sosial dan perlambatan ekonomi, alangkah baiknya bila kebijakan yang diambil tidak menimbulkan kontraksi pada aspek lain," tandasnya. (yer/zul)

Sumber: