2.100 Data Pribadi Orang Indonesia Dibocorkan Perusahaan Cina

2.100 Data Pribadi Orang Indonesia Dibocorkan Perusahaan Cina

Salah satu perusahaan Cina yang memiliki relasi militer dan intelijen disinyalir telah membocorkan lebih dari 2 juta data pribadi, termasuk ribuan data warga negara Indonesia.

Profesor Chris Balding, yang saat ini menetap di Vietnam setelah meninggalkan Cina pada 2018 karena alasan keamanan mengungkapkan, bahwa perusahaan Shenzen Zhenhua Data telah membocorkan data 2,4 juta orang ke dinas intelijen Cina, Kementerian Keamanan Negara.

"Cina benar-benar membangun pengawasan negara besar-besaran di dalam negeri maupun internasional," kata Balding yang pernah mengajar di Universitas Peking, dikutip dari ABC, Kamis (24/9).

"Mereka menggunakan berbagai macam alat-alat ini diambil terutama dari sumber publik, ada data non-publik di sini, tetapi terutama diambil dari sumber publik," sambungnya.

Balding kemudian menyerahkan database tersebut pada perusahaan keamanan siber Australia, Canberra Internet 2.0 untuk memulihkan 10 persen dari 2,4 juta data pribadi yang dibocorkan China.

Sebagai informasi, klien utama Zhenhua diketahui adalah Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) dan Partai Komunis Cina (PCC).

"Saya pikir ini berbicara tentang ancaman yang lebih luas dari apa yang dilakukan Cina dan bagaimana mereka mengawasi, memantau, dan berusaha memeranguhi bukan hanya warga negara sendiri, tetapi warga di seluruh dunia," lanjutnya.

Dari data yang berhasil dipulihkan ditemukan 250.000 catatan yang berisi data pribadi 52.000 warga Amerika Serikat, 35.000 warga Australia, 10.000 data penduduk India, 9.700 Inggris, 5.000 Kanada, 2.100 orang Indonesia, 1.400 Malaysia dan 138 Papua Nugini.

Temuan lainnya, 793 data warga Selandia Baru yang diprofilkan dalam data base, 734 di antaranya ditandai dengan minat khusus atau terpapar secara politik.

"Dalam prosesnya, perusahaan telah melanggar privasi jutaan warga global persyaratan layanan dari hampir semua platform media sosial utama dan meretas perusahaan lain untuk mendapatkan datanya," kata Kepala Eksekutif Internet 2.0, Robert Potter.

"Pengumpulan data massal ini terjadi di sektor swasta Cina, dengan cara yang sama Beijing mengalihkan kemampuan serangan dunia maya ke subkontraktor swasta," tambahnya. (der/zul/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: