Terus Bertambah, Sudah 115 Dokter Gugur saat Tangani Pandemi Covid-19

Terus Bertambah, Sudah 115 Dokter Gugur saat Tangani Pandemi Covid-19

Jumlah dokter yang meninggal dunia akibat terpapar COVID-19, terus meningkat. Hingga Sabtu (12/9), dokter yang gugur mencapai 115 orang. Dari jumlah itu, terbanyak dari Jawa Timur. Tujuh di antaranya merupakan guru besar alias profesor.

"Berdasarkan data Tim Mitigasi PB IDI (Ikatan Dokter Indonesia) tanggal 12 September 2020 pukul 11.00 WIB, jumlah dokter umum yang gugur sebanyak 57 orang. Sementara dokter spesialis 51 orang dan guru besar tujuh orang," Ketua Tim Mitigasi PB IDI, Adib Khumaidi di Jakarta, Sabtu (12/9).

Kasus gugurnya dokter akibat pandemi COVID-19 ini bertambah enam orang, sejak Jumat (11/9) yang tercatat 109 dokter meninggal. Jumlah ini, lanjut Adib, di luar jumlah dokter gigi dan perawat yang wafat akibat COVID-19.

Adib mengatakan penularan COVID-19 pada dokter dan tenaga medis lainnya terjadi saat menjalankan tugas pelayanan kesehatan. Yakni menangani pasien COVID-19 secara langsung ataupun pelayanan kesehatan secara umum.

"Terpaparnya para dokter bisa terjadi saat menjalankan pelayanan. Baik itu pelayanan yang langsung menangani pasien COVID-19 di ruang isolasi maupun ICU. Atau dari tindakan medis yang belakangan diketahui pasiennya ternyata terinfeksi COVID-19," terang Adib.

Selain itu, kemungkinan terpapar melalui pelayanan nonmedis. Seperti dari keluarga dan komunitas. Dia menyebut gambaran ini menunjukkan pekerjaan dokter saat ini memiliki risiko yang sangat tinggi.

"Kami mendesak Pemerintah bertindak tegas terhadap pelanggar protokol kesehatan, Yakni memberikan sanksi sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2020. Menindak masyarakat yang tidak menerapkan protokol kesehatan. Selain itu, aparat pemerintah juga memberikan contoh dengan melakukan protokol kesehatan dalam aktifitas sehari-hari," papar Adib.

Dikatakan, dari 115 dokter yang gugur tersebut, tertinggi berasal dari Jawa Timur. Jumlahnya 29 orang. Disusul Sumatera Utara, 21 dokter. Kemudian DKI Jakarta sebanyak 15 dokter (selengkapnya lihat grafis, Red).

Adib menerangkan, sebagian besar rumah sakit di Indonesia tidak didesain khusus untuk menangani virus. Untuk itu, perlu ada tata kelola pada setiap ruangan di fasilitas kesehatan (faskes) rumah sakit. Sebab, risiko penularan di faskes sangat tinggi.

"Diperlukan ada tata kelola ruangan dokter berpraktik. Tak terlalu ada AC tapi, ada exhaust, ada ventilasi. Kemudian ruang operasi, ruang perawatan juga demikian. Selanjutnya, ada zonasi antara COVID dan non-COVID," urainya.

Sementara itu, Pengurus Pusat Perhimpunan Manager Pelayanan Kesehatan Indonesia (Permapkin), Hermawan mengungkapkan 50 persen manager rumah sakit terpapar COVID-19. Bahkan, ada manager rumah sakit terkenal yang sudah positif.

"Di rumah sakit banyak sekali kasus para manajer pelayanan kesehatan terkontaminasi. Ada rumah sakit yang 50 persen managernya kena. Kalau 50% manager kena, lalu siapa yang mengoperasionalisasikan rumah sakit. Siapa yang melakukan tata kelola rumah sakit. Bahkan rumah sakit yang paling mentereng di Indonesia pun banyak yang terkena," jelas Hermawan.

Dia menuturkan terpaparnya para manager rumah sakit menggambarkan letihnya pihak manajemen dan tata kelola rumah sakit. Salah satu penyebab DKI Jakarta menginjak rem darurat dengan PSBB total, karena kondisi tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan sedang tidak kondusif.

"Ini berkaitan dengan lelah. Kita tahu, lelah ini tidak hanya berkaitan dengan tenaga kesehatan. Tetapi juga manajemen faskes. Nah ini yang menyebabkan pertimbangan dilakukan pengereman darurat. Bukan semata-mata dari angka epidemologis. Kalau angka epidemologis saja sudah mengerikan. Tetapi yang paling riskan adalah kesiapan dari tenaga kesejatan dan faskesnya," terang Hermawan.

Sumber: