2021 Diprediksi Indonesia Mulai Defisit Energi

2021 Diprediksi Indonesia Mulai Defisit Energi

Tahun depan akan menjadi tahun yang cukup berat bagi Indonesia. Selain resesi ekonomi, juga diperkirakan akan terjadi defisit energi yang potensinya diproyeksikan mencapai hingga USD80 miliar.

"Tahun 2021, kita akan defisit energi. Pada 2040 defisit potesinya bisa mencapai USD80 miliar. Jadi, omong kosong kalau 2045 tahun emas," ujar ekonomi senior, Faisal Basri di Jakarta, kemarin (31/8).

Sementara, lanjut dia, konsumsi energi Indonesia merupakan yang terbesar di antara berkembang lainnya. Tahun lalu, konsumsi energi Indonesia sekitar 4,9 persen dengan pertumbuhan penduduk masih di atas 1 persen.

Sedangkan di sisi lain, produksi energi ditopang teruatam oleh mintak dan gas (migas), yang konsisten turun. Cadangan migas akan habis dalam tujuh sampai delapan tahun, bila tidak ada penemuan baru.

"Cadangan (migas) kita turun dari waktu ke waktu. Kita slah satunya negara produsen minyak yang konsisten turun. Gas juga turun," ucapnya.

Kendati begitu, kata dia, neraca energi Indonesia menunjukkan tren positif. Ini karena ditopang dengan ekspor batu bara yang mencapai USD20,6 miliar. Total transaksi energi surplus USD8,2 miliar. "Kita eksportir batu bara kedua terbesar setelah Australia, padahal cadangan kiat sedikit," katanya.

Terpisah, ekonom Institute for Development of Economics and Finaance (Indef) Ucok Pulungan mengatakan, pemerintah harus segera mencari energi alternatif yang terintegrasi dan konsistan. Pasalnya kebijakan tersebut akan mendukung ketahanan cadangan devisa.

Dia mengingatkan, meski dari sisi program banyak namun dari sisi dampak dan juga penggunaan masih sangat minim.

"Misal, sebenarnya pembangkit listrik tenaga bayu sudah dikembangkan di Sulsel. Tinggal diperbanyak. Program energi alternatif lain udah ada, karena itu jangan lagi menjadi wacana saja," kata Ucok.

Selain itu, dia juga mengingatkan, soal pelemahan nilai tukar Rupiah selain dampak kebijakan impor BBM tinggi juga karena kebijakan di sektor rill.

"Dalam kaitannya dengan BBM, maka terkait dengan impor. Namun pemerintah sudah berupaya dengan penggunaan B20. Sedikit banyak sudah terlihat dari penurunan volume impor BBM sepanjang 2019," ujarnya.

Dalam kondisi seperti ini, menurut Ucok, jauh yang lebih penting dilakukan pemerintah adalah mendorong daya beli masyarakat agar tetap terjaga.

"Agar konsumsi tidak anjlok, caranya dengan menekan inflasi melalui pangan. Misalnya, dilakukan operasi pasar di daerah, juga memastikan pendapatan masyarakat terjaga," pungkasnya. (din/zul/fin)

Sumber: