Jelang Pilkada Serentak, Waspadai Politisasi SARA

Jelang Pilkada Serentak, Waspadai Politisasi SARA

Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020, sejumlah cara sering digunakan dalam mencari simpati. Salah satunya penggunaan ujaran kebencian dan SARA. Sayangnya, aturan belum secara tegas mengatur tentang larangan tersebut.

Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo mengungkapkan empat tantangan Bawaslu dalam mewujudkan pilkada tanpa politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dan ujaran kebencian. Pertama, kata Dewi, Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada hanya dapat menjangkau praktik politisasi SARA dan ujaran kebencian pada saat kampanye saja.

Politisasi SARA dan ujaran kebencian bisa terjadi di luar masa kampanye. Seperti saat minggu tenang, tahapan pemungutan suara, tahapan rekapitulasi. Lantaran aturan dalam UU Pilkada, perbuatan tersebut menjadi sulit ditindaklanjuti penegakan hukumnya.

"Jadi pembatasan tahapan pengaturan tentang politisasi SARA ini menjadi masalah kita di dalam mewujudkan pilkada tanpa politisasi SARA," kata Dewi di Jakarta, Kamis (13/8).

Tantangan kedua, yakni terdapat perbedaan persepsi antar stakeholders dalam membedakan konten ujaran kebencian dan hoaks. Hal ini mengakibatkan dalam menerjemahkan makna ujaran kebencian Bawaslu harus meminta pendapat ahli.

"Bawaslu dalam penanganan pelanggaran harus memakai atau meminta pendapat ahli dalam menerjemahkan apa yang dimaksud dengan ujaran kebencian dan hoaks," sebutnya.

Yang ketiga, proses pembuktian yang panjang dalam menangani dugaan tindak pidana ujaran kebencian atau politisasi SARA. Dia mengakui tidak mudah membuktikan dalam melakukan penanganan pelanggaran tindak pidana pemilihan terlebih tidak ada perubahan peraturan dalam UU Pilkada. Aturan batas waktu penanganannya dinilai sangat singkat yakni 3+2 hari kalender kerja.

"Itu menjadi tantangan tersendiri bagi Bawaslu. Pemilu 2019 lalu, kami hanya bisa membuktikan sampai kepada keputusan pengadilan inkrah (berkekuatan hukum tetap, Red) hanya empat kasus. Karena memang proses pembuktian butuh waktu yang panjang. Ini tidak mudah bagi kami dengan batasan waktu 7 + 7," papar Dewi.

Keempat, masih diperlukan sistem penegakan hukum yang komprehensif. Meliputi subtansi yang berkaitan dengan pengaturan yang ada dalam UU, struktur berkaitan dengan penegakan hukumnya.

Hal ini penting karena berkaitan dengan tindak pidana pemilihan tergabung dalam Sentra Gakkumdu, dan budaya hukum terhadap penindakan praktik ujaran kebencian dan politisasi sara saat pelaksanaan pilkada.

"Bawaslu cukup banyak harapan di Pilkada 2020. Karena saat penandatanganan peraturan bersama (Sentra Gakkumdu) antara Bawaslu dan Kejaksaan dan Kepolisian dihadiri langsung oleh Kapolri dan Jaksa Agung," tuturnya.

Selain tantangan, dia juga menjelaskan empat strategi yang dilakukan Bawaslu dalam mencegah politisasi SARA dan ujaran kebencian. Pertama, dengan membangun komitmen calon kepala daerah untuk tolak politisasi SARA dan ujaran kebencian di pilkada.

Kedua, menyusun Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) sebagai peringatan dini untuk pencegahan ujaran kebencian dan politisasi SARA. Ketiga, menggandeng tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk mengkampanyekan tolak politisasi SARA di pilkada. Yang terakhir membangun kerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam penegakan hukum ujaran kebencian dan politisasi SARA.

"Terutama fokus kami kepada Tim Cyber Mabes Polri untuk menyusuri pemanfaatan media sosial dalam melakukan pelanggaran-pelanggran berkaiatan dalam melakukan tindak pidana pemilihan," ucapnya.

Sumber: