RUU HIP Belum Jelas, RUU PKS Malah Dicabut Meski Diprotes Perempuan

RUU HIP Belum Jelas, RUU PKS Malah Dicabut Meski Diprotes Perempuan

Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Selanjutnya, akan dimasukkan dalam Prolegnas 2021.

Keputusan ini diprotes sejumlah pihak. Salah satunya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). "Sangat penting pembahasan RUU PKS ini seiring meningkatnya grafik permohonan perlindungan korban kekerasan seksual. Kami menyesalkan mengapa RUU yang sangat penting ini justru dikeluarkan dari Prolegnas 2020," ujar Wakil Ketua LPSK, Livia Istania Iskandar di Jakarta, Jumat (3/7).

Menurutnya, selama 2016, LPSK menerima 66 permohonan dari kasus kekerasan seksual. Kemudian pada 2017naik menjadi 111 permohonan. Angkanya melonjak menjadi 284 permohonan pada tahun 2018.

"Pada tahun 2019 menyentuh angka 373. Data terakhir hingga 15 Juni 2020, jumlah terlindung LPSK dari kasus kekerasan seksual sebanyak 501 korban. Artinya ini sudah sangat mengkhawatirkan," imbuhnya.

Angka permohonan perlindungan maupun jumlah terlindung LPSK tersebut belum dapat menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya. Ia meyakini angka kekerasan seksual sebenarnya jauh lebih besar. Sebab tidak semua korban mau melanjutkan perkara ke ranah hukum.

"Jumlah terlindung LPSK itu belum menggambarkan korban kekerasan seksual sesungguhnya. Karena Pasal 28 UU Perlindungan Saksi dan Korban mensyaratkan permohonan perlindungan bisa diberikan, salah satunya karena adanya tingkat ancaman yang membahayakan saksi atau korban," papar Livia.

Dia berharap kehadiran RUU PKS dapat membantu dan mempermudah penegak hukum menjerat pelaku kekerasan seksual. Apalagi jenis dan modus kekerasan seksual kian beragam.

Pada kasus kekerasan seksual, banyak yang proses hukumnya tidak dapat dilanjutkan. Hal ini disebabkan alat bukti dan rumusan norma pasalnya kurang. KUHP, lanjut Livia, tidak mampu menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang berkembang saat ini.

"Ini juga berimplikasi pada cara pandang penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum. Misalnya, pemahaman bahwa pemerkosaan itu dimaknai sebatas adanya penetrasi alat kelamin pria ke alat kelamin perempuan. Padahal definisi pemerkosaan telah berkembang dalam berbagai literatur, aturan, dan praktik hukum internasional maupun di negara lainnya," tuturnya.

Sementara itu, Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) NasDem di Komisi VIII DPR RI, Lisda Hendrajoni menegaskan fraksinya mendesak agar RUU PKS tetap masuk dalam Prolegnas prioritas 2020.

Dia menilai isi RUU PKS merupakan suatu kebutuhan melindungi kaum perempuan dan anak dari para pelaku kekerasan seksual. Data Komnas Perempuan dari 2015-2019, jumlah kasus kekerasan seksual terus meningkat. Puncaknya di 2019 mencapai 431.471 kasus.

"Bahkan laporan secara langsung ke Komnas Perempuan mencapai 1.419 laporan. Artinya ini sudah menjadi sesuatu yang mendesak. Sampai kapan kita harus menunggu,” ujar Lisda di Jakarta, Jumat (3/7).

Data terparah, lanjut Lisda, terjadi pada 2001 hingga 2011. Tercatat kekerasan seksual terjadi sebanyak 35 kasus setiap harinya. “Sebenarnya tidak ada alasan RUU PKS sulit disahkan. Karena data sudah terpampang dengan sangat jelas. Betapa pelaku kejahatan seksual leluasa di Indonesia. Satu-satunya cara untuk menghapus kejahatan itu adalah penerapan UU PKS,” tegasnya.

Terpisah, anggota Bales DPR RI dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf mengatakan belum ada apa-apa tentang RUU PKS. "Saya belum bisa memberi komentar. Karena memang belum ada apa-apa tentang RUU PKS ini," jelas Bukhori.

Sumber: