Media Asing Soroti Penanganan Corona di Indonesia

Media Asing Soroti Penanganan Corona di Indonesia

Sejumlah media asing mulai menyoroti kemampuan Indonesia dalam menanggulangi krisis kesehatan dan ekonomi di tengah pandemi global virus corona (Covid-19).

Seperti Forbes misalnya, belum lama ini merilis laporan yang menempatkan Indonesia di posisi 97 dari 100 dalam daftar negara teraman dalam urusan penanganan Covid-19. Laporan itu didasarkan pada 130 parameter kuantitatif dan kualitatif dan lebih dari 11.400 titik data dalam berbagai kategori seperti efisiensi karantina, pemantauan dan deteksi, kesiapan sistem kesehatan, dan efisiensi kebijakan pemerintah.

Laporan itu dihimpun oleh Deep Knowledge Group, sebuah konsorsium perusahaan dan organisasi nirlaba yang dimiliki oleh Deep Knowledge Ventures, perusahaan investasi yang didirikan pada 2014 di Hong Kong.

Sementara, Channel News Asia (CNA) mengungkapkan, minimnya tes Covid-19 yang dilakukan Indonesia sejauh ini. Menurut laman berita daring yang berbasis di Singapura itu, data dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Indonesia menunjukkan, setidaknya 287.470 orang telah diuji virus corona di seluruh negeri sejauh ini.

Jika dilihat dari rasio dengan total populasi Indonesia yang saat ini berjumlah 267,7 juta, jumlah penduduk yang telah menjalani tes Covid-19 itu amatlah kecil.

Sedangkan kantor Berita Prancis, AFP menuliskan, secara resmi Indonesia per hari ini memiliki lebih dari 34.000 kasus infeksi Covid-19 dengan 1.959 di antaranya adalah kasus kematian.

"Akan tetapi, sebagai salah satu negara dengan tingkat pengujian (corona) terrendah di dunia, jumlah korban sebenarnya di negara itu diyakini jauh lebih tinggi,” tulis AFP, Kamis (11/6).

media asing itu terhadap penanganan wabah di Indonesia cukup beralasan, mengingat akhir-akhir ini kasus infeksi Covid-19 di Tanah Air melonjak signifikan, bahkan mencapai rekor tertingginya di atas 1.000 kasus dua hari berturut-turut. Apalagi, kenaikan lonjakan harian kasus infeksi corona di Tanah Air beriringan dengan kebijakan new normal atau keadaan normal baru yang digaungkan pemerintah pusat. Kebijakan itu antara lain ditandai dengan ungkapan “berdamai dengan Covid-19” yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 7 Mei lalu.

"Kemampuan Indonesia untuk mengatasi krisis kembar ekonomi dan kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh Covid-19, selalu menjadi hal yang sulit," tulis Asia Times.

Media asal Hong Kong itu mengungkapkan, bahwa kebijakan new normal yang sebenarnya dimaksudkan untuk memulihkan kembali ekonomi Indonesia yang merosot, diluncurkan bersamaan dengan upaya yang disengaja untuk “menyesatkan dan mengaburkan skala risiko epidemi”.

"Padahal para ahli telah memperingatkan bahwa pendekatan prematur untuk pemulihan ekonomi dapat berisiko membuat orang Indonesia terpapar wabah lebih lanjut dan menimbulkan gangguan ekonomi jangka panjang yang lebih dalam," tulis Asia Times.

Bulan lalu, pakar tanggap darurat terkemuka Indonesia, Dr Corona Rintawan memutuskan untuk keluar dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Indonesia. Dokter itu pun berbagi pandangannya dengan Asia Times mengenai pandemi Covid-19 di Tanah Air. Dia menggarisbawahi, bahwa arahan new normal ala Jokowi dapat mengundang lebih banyak infeksi dan kebingungan publik, alih-alih memetakan cara yang aman untuk meraih kemajuan.

"Pengujian dan pelacakan (virus corona) di Indonesia sangat kurang. Kapasitas kami untuk melakukan tes PCR jauh dari target 20.000 pengujian per hari. Tapi sekarang semuanya tampak santai, ekonomi sedang di-reboot, sekolah dibuka kembali, pertemuan massa agama diizinkan, semuanya atas nama narasi ‘normal baru’ ini," kata Corona.

"Tampaknya kementerian-kementerian yang ada tengah berusaha menunjukkan dukungan mereka kepada presiden dengan berlomba menerapkan konsep ‘normal baru’ dalam waktu sesingkat mungkin, terlepas dari apakah masyarakat siap atau jika langkah-langkah itu bahkan diperlukan," ujarnya kepada Asia Times. (der/fin/ima)

Sumber: