Indonesia Berpotensi Kehilangan Devisa Rp26,5 Triliun
Di tengah upaya pemerintah memperbaiki ekonomi nasional di masa pandemi virus corona atau Covid-19, malah mendapatkan tudingan sengketa dagang dari beberapa mitra dagang di luar negeri. Indonesia mendapatkan 16 tuduhan ekspor baru di antaranya ada dari Amerika Serikat (AS), India, dan Uni Eropa (UE).
Dari tuduhan itu, Indonesia berpotensi kehilangan devisa hingga USD1,9 miliar atau setara Rp26,5 triliun.
"Tuduhan tersebut berpotensi menyebabkan hilangnya devisa negara yang diperkirakan sebesar US$ 1,9 miliar atau setara dengan Rp26,5 triliun," kata Plt Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Srie Agustina, Senin (8/6).
Lanjut Srie, dari 16 tuduhan itu, 10 di antaranya masuk dalam tuduhan antidumping, sementara 6 sisanya adalah tuduhan safeguard. Produk yang dituduh, seperti mono sodium glutamat, baja, alumunium, kayu, benang tekstil, bahan kimia, matras kasur, dan produk otomotif.
Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati menambahkan, produk metal yang paling sering dituduh dumping maupun safeguard adalah metal, logam, besi baja.
"Karena kita tahu besi baja adalah yang sangat penting," ujarnya.
Pradnya mengaku terkejut mengetahui jumlah tuduhan tersebut cukup banyak mengingat hanya dalam waktu kurang dari setengah tahun.
"Sekarang dalam masa pandemi baru lima bulan saja Indonesia sudah menghadapi 16 kasus tuduhan yang terdiri dari 10 tuduhan antidumping, dan 6 tuduhan safeguard dari negara mitra. Jadi sudah melebihi rekor tahunan. Setahun rata-rata biasanya 14 tuduhan," katanya.
Terpisah, ekonom senior dari Universitas Perbanas Piter Abdullah mengatakan, berkurangnya cadangan devisa tak ada hubungannya dengan tuduhan dumping dan safeguard.
"Sumber penerimaan cadangan devisa kita bukan dari impor. Jadi tidak ada hubungannya langsung dengan cadangan devisa," kata Piter kepada Fajar Indonesia Network (FIN), Senin (8/6).
Menurut Piter, tuduhan dumping itu kalau kemudian terbukti akan menyebabkan produk ekspor Indonesia menjadi lebih mahal karena dikenakan tarif anti dumping. (din/fin/ima)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: